Warung KOPI Pasuruan
Kerajaan yang berdasarkan pada hukum syariat Islam yang ketat sebagaimana termaktub dalam catatan sejarah tentang Raja ulama dari Giri, 1600 M - 1635 M, Wilayah kerajaan Giri meliputi Pasuruan, Giri, Panarukan dan Tuban. Salah satu peninggalan utama adalah daerah Sidogiri.
 
Berdasarkan sejarah lisan menunjukkan bahwa daerah inilah awal Sunan Giri meletakkan dasar-dasar dakwah dengan membuka langgar sekaligus tempat ngaji ditempat inilah kemudian dinamakan Sidogiri (Jadi Giri atau menjadi seperti Giri). 
 
Kerajaan Giri memiliki kekuasaan yang luas, disamping kekuasaan yang sifatnya fisik seperti di atas, juga mempunyai kekuasaan non fisik, umpamanya jika Raja-raja Mataram pada waktu itu akan dinobatkan, maka terlebih dahulu harus disahkan oleh Giri. Begitu juga kerajaan Demak dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Jadi sistem yang dipakai adalah sistem agama dimana antara raja dan rakyatnya tidak ada jarak (stratifikasi). Sistem ini mirip dengan yang dilakukan Paus sewaktu akan dinobatkan Raja-raja Eropa pada zaman dulu maka orang Eropa menyebutnya Paus van Java. 
 
Perkembangan Islam di Giri merupakan awal mula perkembangan Islam. Walaupun kerajaan Majapahit waktu itu masih ada, akan tetapi kerajaan Majapahit tidak berani menghapus kekuasaan yang ada pada kerajaan Giri. Bahkan pada saat Majapahit dipimpin oleh Brawijaya, kerajaan Giri diberikan tanah. Dua tahun setelah kunjungannya ke Tembayat dan setelah penggunaan penanggalan baru, raja Mataram mengangkat senjata terhadap raja ulama Giri. Sebelum menguraikan masalah ini, hendaknya kita meneliti dahulu pengalaman-pengalaman raja ulama tersebut, yang semenjak lahirnya menarik perhatian orang-orang Belanda. 
 
Berita Belanda tertua tentang raja ulama dari Giri ini diperoleh dari laporan tentang pelayaran pertama Belanda (Schipvaert) dan terdapat dalam ikhtisarumum tentang pantai Jawa, yang digambarkan dari timur ke barat, yang mungkin diambil dari sumber Portugis di Banten (Begin, jil. I. hlm. 62-63): "Dan di sebelah barat sungai (daerah Jortan) terletak Gerrici (Gresik), yang diperintah seorang raja. Dengan beliau raja-raja Jawa lainnya selalu berbicara dengan menyembah, seperti … budak belian terhadap penguasanya". Pemberitaan khusus mengenai salam sembah ini menjadi masuk akal bila disini kita hubungkan dengan sebutan seorang panembahan. Dan ia seorang panembahan yang luar biasa, karena raja-raja pun memberikan salam hormat demikian. 
 
Disebutnya Gresik dalam sumber itu mungkin dapat menunjukkan bahwa tempat itu pun ada di bawah kekuasaan raja ulama ini. Penentuan tempat lain lebih lanjut kita temukan dalam perjalanan keliling dunia Oliver Van Noort (Begin, jil. I, hlm. 53). Ia menulis "Di Jortan berdiam pendeta tertinggi bangsa Indi di tanah Jawa, jauh dari kota, mempunyai istana dengan banyak rumah; dan ia berumur kurang lebih 120 tahun; meskipun demikian ia masih mempunyai istri banyak yang harus menghangatkan badannya … Ia adalah musuh besar orang-orang Kristen". Dalam gambaran ini sifat spiritual panembahan menonjol, dan digambarkan pula tempat tinggalnya (di Giri). Di sana ia memang menjadi pemimpin masyarakat besar. Usianya yang lanjut, istrinya yang banyak dan fanatismenya menarik perhatian. Jacob van Heemskerck menyebutnya dalam suratnya tertanggal 4 Juli 1602 "uskup besar"sementara itu oleh beberapa pengarang lain (A. Gijsels dan Coen, lawannya) kemudian disebut Paus. Juga tentang pengaruh ulama tertinggi dari Giri di luar negeri, orang-orang Belanda mendapat banyak informasi. Gijsels menceritakan (Gejsels,"Amboina", hlm. 361-362) tentang "Raedja Bouckit" ini bahwa orang-orang Hitu sampai jauh di zaman Belanda tiap tahun masih memberi beberapa kilo cengkeh kepada "Paus" mereka. Sebagai imbalan mereka menerima, di samping beberapa surat yang ditujukan kepada "orang kaya dan ulama-ulama tertinggi", juga "beberapa penutup kepala Jawa" (kopiah putih) yang ditulisi beberapa mantra. "Mereka demikian mencintai "Paus" ini, dan percaya bahwa ia dapat menghidupkan kembali orang-orang yang telah meninggal" (periksa juga: Graaf, Senapati, hlm. 60-61). Tentang nama-nama dan gelar-gelar raja ulama ini orang-orang Belanda tidak mempunyai keterangan yang jelas. Hanya satu kali Coen menyebut Panembahan dari Giri dalam suratnya tertanggal 11 Februari 1622 (Coen, Bescheiden,jil. IV, hlm. 272), yang menurut pengetahuannya merupakan "pemimpin para rohaniawan di daerah ini". 
 
Oleh karena itu, untuk nama-nama selanjutnya kita harus berpaling pada tradisi Jawa. Setelah wafatnya Sunan Prapen yang merupakan puncak kedua dalam rangkaian raja ulama, ia mungkin diganti oleh Panembahan Kawis Guwa, yang mungkin sekali memerintah sampai 1616. di bawah pimpinan panembahan inilah mungkin jatuhnya Jortan, tempat perdagangan Gresik, ke tangan Surabaya yang pada waktu pelayaran pertama Belanda masih berada di bawah kekuasaan Giri. Wiselius, orang pertama yang menulis artikel tentang raja-raja ulama ini, bahkan berpendapat bahwa kemunduran di bidang politik ini tercermindalam gelar yang dipakai oleh Panembahan Kawis Guwa yang lebih rendah daripada gelar pendahulunya yang terkenal sebagai Susuhunan (Wiselius, "Historisch", hlm. 489). Namun, Hageman ("Geschiedenis", jil. III) berpendapat bahwa penurunan gelar ini terjadi atas perintah raja Pajang, sesuatu yang tidak masuk akal. Serat Kandha juga melihat kemunduran wibawa itu, karena meninggalnya Sunan Prapen memberi kesempatan kepada Pangeran Surabaya,"untuk sekehendaknya memainkan peranannya", karena kekuasaan dan rasa hormat terhadap penggantinya tidak sebesar dahulu kala. Mengingat pengaruh Panembahan Kawis Guwa masih juga besar, ketika orang-orang Belanda pertama kali menetap di Nusantara, berita-berita tentang adanya kemunduran hanya memastikan bahwa pengaruhnya dahulu pada zaman Sunan Prapen masih jauh lebih besar. Bahkan menurut cerita-cerita tradisional, Sunan Prapenlah yang memberi kekuasaan kepada raja Pajang dan Mataram. Pengaruh semacam itu bertahan kurang lebih sampai 1680, ketika pengaruh itu dilenyapkan dengan kekerasan.
 
Jika kemajuan Surabaya sekitar pergantian abad hanya mengakibatkan kemunduran bagi Giri, sebaliknya serangan-serangan Mataram yang ditujukan pada kota dagang Surabaya ini seharusnya membawa hari terang bagi raja ulama. Tidak ada bukti bahwa Panembahan Krapyak atau penggantinya menilai Giri sebagai sekutu yang berharga meskipun raja ulama itu disarankan memberi pernyataan atau ramalan yang menguntungkan bagi Mataram. Tanpa segan-segan pasukan-pasukan Mataram bergerak melalui daerah Jortan dan Gresik, dan membakar tempat-tempat tersebut. Pada tahun 1616 Panembahan Kawis Guwa meninggal dunia (Babad B. P. jil. VIII, hlm. 35) dan diganti oleh Panembahan Agung yang oleh tradisi Giri supaya dianggap mempunyai hari depan yang gemilang. 
 
Salah satu murid Panembahan Agung yaitu Sayid Sulaiman melanjutkan sebuah madrasah di daerah yang disebut dengan Sidogiri yang masih eksis hingga kini. Sekitar zaman ini kita mempunyai petunjuk tentang sikap Giri terhadap orang-orang Belanda. Pada tahun 1615 "dua orang laki-laki dari loji tempat kediaman Paus Islam itu" (surat Coen tertanggal 22 Oktober 1615; Coen, Bescheiden,jil. I, hlm. 120). Raja Surabaya, yang rupanya menerima pengaduan Belanda tentang hal ini, dan ketika itu lebih bersimpati terhadap Belanda "daripada siapapun di seluruh Hindia, menjadi gusar karenanya, tetapi siapakah yang akan berani menggulingkan ulama tertinggi?" Meskipun A. Gijsels mengakui orang-orang pegunungan (Boucquit) adalah "kelompok berandalan jahat", ia dalam hal ini menganggap orang-orang Belanda sendirilah yang menyebabkannya, " sebab sifat pemabuk bangsa kami dapat menimbulkan banyak persoalan" (Gijsels, "Verhaal", hlm. 531-532). Sebaliknya, hubungan orang-orang Belanda di Gresik dengan Surabaya sebagai tetangga terdekatnya yang sangat kurang tidak menunjukkan bahwa Belanda mempunyai simpati yang terlalu besar terhadap Surabaya, bahkan juga setelah kejadian yang menyedihkan itu. Campur tangan Kompeni di Hitu dan Banda tentu meningkatkan hubungan yang kurang baik itu. Orang-orang Banda yang dideportasikan dari tanah airnya ke Batavia menganggap raja ulama sebagai sekutu dan mengirim utusan kepadanya dengan permohonan membantu mereka melawan Belanda seperti juga kepada raja Mataram (Coen dalam suratnya tertanggal 22 Marct; Coen, Bescheiden,jil. I, hlm. 705). Untuk itu mereka dihukum berat oleh Belanda. Juga Ambon mempertahankan hubungan baik dengan Giri. Cengkih masih tetap dikirim ke "raja Bukit"("raedje Bouquit") (surat H. van Speult tertanggal 21 September 1618, Coen, Bescheiden, jil. VII, hlm. 394) dan anak laki-laki kapten Hitu, yang kemudian menjadi sangat termasyhur dengan nama Kakiali, pergi ke Giri disertai oleh orang kaya, untuk berguru. Yang menarik perhatian juga ialah peranan Giri sebagai tempat pelarian musuh yang dikalahkan Mataram. Kita telah melihat bahwa raja Tuban mencari perlindungan di sana. Raja Pajang ketika itupun telah diterima di sana. Lama kelamaan tentu para pelarian ini rupanya merasa tidak aman, karena keadaan Surabaya semakin membahayakan. Tidak lama sebelum jatuhnya Surabaya, P. de Carpentier menulis pada tanggal 27 Januari 1625 (Coen, Bescheiden, jil. VII, hlm. 1097), bahwa pada musim kemarau yang berikut, raja Mataram akan menaklukkan Surabaya: "di sebelah sana tinggal pada pihaknya ulama tertinggi Giri saja", sedangkan sepuluh bulan kemudian, ketika sementara itu Surabaya sudah menyerah, Pemerintah Tinggi Belanda menulis kepada atasannya (tertanggal 27 Oktober 1625, Jonge, Opkomst, jil. V, hlm. 98): "ulama tertinggi dari Giri atau Bukit, yang mempunyai rakyat sama kuat dengan Surabaya, juga mengalami kelaparan besar, karena hasil pertanian berkurang akibat perang, dan masuknya bahan makanan melalui sungai dihalang-halangi, ribuan rakyat dengan demikian meninggalkan Giri, sehingga raja ulama lama-kelamaan berada tanpa rakyat: itulah satu-satunya yang dikehendaki raja Mataram". 
 
Pada masa inilah adanya peralihan syah Bandar dari Giri(Gresik) ke Pasuruan, pelabuhan inilah yang kemudian menjadi titik perlawanan terhadap Mataram dan Belanda. Yang terakhir ini memperlihatkan suatu hubungan buruk antara Giri dan si penakluk dan menunjukkan adanya suatu tekanan, tetapi hal ini tidak dapat membuat raja ulama menyerah. Sebaliknya, cerita-cerita lisan mengatakan bahwa raja Mataram sendiri jatuh sakit karena sikap bersikeras raja ulama dari Giri. Bahkan bukannya tidak mungkin bahwa raja ulama mengambil sikap lebih jauh dan memutuskan "untuk mengibarkan panji pemberontakan, agar dengan demikian memperoleh kembali kekuasaan yang telah hilang", seperti diberitakan oleh Wiselius berdasarkan kronik Giri tahun 1629 M yang tidak dapat ditemukan lagi (Wiselius, "Historisch", hlm. 495). Seperti akan kita lihat, raja Giri juga tetap mempertahankan hubungannya dengan luar negeri, sedangkan tempat yang bernama Bukit pada tahun 1632 dan 1634 masih disebut dalam sumber-sumber Belanda sebagai pelabuhan tersendiri. Tempat kapal-kapal biasanya mengadakan pelayaran ke Maluku (Daghregister, 30 Oktober 1612, 18 Januari 1634). Meskipun selama perang Mataram melawan Surabaya, penduduknya menyusut, secara ekonomis Giri tetap mempunyai arti tertentu. Sejauh penyelidikan kita, Giri tetap terpandang dari segi spiritual. Ternyata, disana bahkan ada suatu organisasi militer tertentu yang dapat digunakan. Karena itu, Sunan dari Mataram tidak berani langsung menyerangnya, tetapi secara cerdik menggunakan untuk itu putra lawannya dahulu, yakni Pengeran Pekik dari Surabaya. Untuk ini tentu harus diadakan perdamaian terlebih dahulu dengan Surabaya, dan cerita tradisional Jawa panjang lebar menceritakan hal ini.

Sumber:
0 Responses

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...