Warung KOPI Pasuruan
Sejarah Pasuruan bermula dari masa Kerajaan Kalingga dalam catatan Tiongkok disebut "bahwa di Cho'po (Jawa) pada tahun 674 M- 675 M, ada Kerajaan yang bernama "Ho-ling" yang memiliki seorang Raja, bernama Si-Ma, tentang letak kerajaaan "Ho-ling" atau Kalingga ini ada tiga pendapat yaitu pendapat pertama mengatakan terletak di Jawa Tengah dan pendapat yang kedua mengatakan kerajaan ini berada di Jawa Timur karena catatan itu hampir sama dengan prasasti yang ditemukan di daerah Dinoyo Kota Malang. Prasasti berbahasa Sansekerta ini menceritakan bahwa ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan dengan penguasa bernama Dewashima yang menggantikan ayahnya bernama Gajayana. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa letaknya bisa jadi pada dua daerah itu karena catatan Tiongkok itu juga menjelaskan bahwa antara tahun 742 M - 755 M ibukota Holing dipindahkan ke Timur yaitu ke Po-lu-kia-sieu, oleh Raja Ki-Yen (ada yang menafsirkan kata Po-lu-kia-sieu dengan Pulokerto dan kata Raja Ki-Yen dengan Rakryan yang merupakan gelar seorang bangsawan pada saat itu). Pulokerto ini terletak di wilayah Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan sekarang ini.

Kerajaan ini beragama Budha hal ini didasarkan pada catatan seorang pendeta Budha yang bernama I-Tsing yang menyatakan bahwa dalam tahun 664 M telah datang seorang pendeta bernama Hwi-Ning di Holing, dan tinggal selama 3 tahun untuk menterjemahkan berbagai kitab suci agama Budha Hinayana.

Setelah Kalingga kemudian kita memasuki masa Mataram kuno, Dinasti Sanjaya, pada tahun 856 M Dinasti Sanjaya yang dipimpin Rakai Pikatan turun dari takhta, setelah berhasil menghapus kekuasaan keluarga Cailendra di Jawa. Adapun kemungkinan timbulnya kembali keluarga ini ia telah cegah, yaitu dengan menggempur Balaputradewa, yang dari prasasti tahun 856 M itu dapat disimpulkan bertahan di bukit Ratu Boko. Penggantinya, Dyah Lokapala atau Rakai Kayuwangi, ternyata menghadapi berbagai kesulitan yang dialami oleh rakyat Mataram. Kekuasaan Cailendra di Jawa Tengah selama tiga perempat abad banyak menghasilkan bangunan-bangunan suci yang serba megah dan mewah, tetapi sebaliknya sangat melemahkan tenaga rakyat dan penghasilan pertanian. Usaha mengutamakan kebesaran raja kini terasa akibatnya yang menekan penghidupan rakyat. Rakai Kayuwangi memerintah dari tahun 856 M - 886 M, dan dalam prasasti-prasastinya ia menggunakan sebutan Sri Maharaja dan gelar Abhiseka (penobatan raja) Sri Sajjanotsawatungga. Sebutan pertama menunjukkan kebesaran sang raja yang kini menjadi penguasa satu-satunya, sedangkan akhiran Tungga (=puncak, ujung) dalam nama abhisekanya. Kebiasaan yang hanya dipakai oleh Raja Cailendra menunjukkan bahwa sang raja berdarah Cailendra pula. Pengganti Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang yang memerintah dari tahun 886 M - 898 M. Kemudian menyusullah Raja Balitung (Rakai Watukura) yang bergelar Sri Icwarakecawtsawatungga, yang memerintah dari 898 M - 910 M. Prasasti-prasastinya terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga dapat disimpulkan ia adalah raja yang pertama yang memerintah kedua bagian pulau Jawa itu. Mungkin sekali kerajaan di Jawa Timur Kanjuruhan telah ia taklukkan, mengingat bahwa di dalam pemerintahan Jawa Tengah ada sebutan Rakryan Kanuruhan, yaitu salah satu jabatan tinggi langsung di bawah raja.

Memang prasasti-prasasti Balitung dari tahun 898 M - 907 M semuanya didapatkan di Jawa Timur, dan salah satu diantaranya menyebutkan serangan ke Bantan (= Bali). Salah satu prasastinya yang menarik perhatian adalah yang ia keluarkan dalam tahun 907 M, yaitu prasasti Calcutta yang memuat silsilahnya sejak Sanjaya, sedangkan mereka-mereka yang memerintah terlebih dahulu itu ia mintai perlindungan. Raja Balitung inilah yang raja-raja sesudah Balitung adalah: Daksa, yang dalam pemerintahan Balitung telah menjabat Rakryan Mahamantri I Hino (kedudukan yang tertinggi di bawah raja), dan menjadi raja dari 910 M - 919 M; Tulodong dengan gelarnya Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajanasanmataanuraga-tunggadewa, dari tahun 919 M - 924 M; kemudian Wawa dengan gelarnya Sri Wijayalokanamottungga, dari 924 M - 929 M.

Sejak 929 M prasasti hanya didapatkan di Jawa Timur, dan yang memerintah adalah seorang raja dari keluarga lain, yaitu Mpu Sindok dari Icanawamca. Dengan ini maka habislah riwayat Sanjayawamca dan juga Jawa Tengah sebagai pusat pemerintahan. Mungkin sekali perpindahan kekuasaan dari keluarga Sanjaya kepada keluarga Icana berlangsung secara damai (perkawinan), tetapi apa sebabnya pusat kerajaan dipindah ke Jawa Timur tidak dapat diketahui. Ada pendapat bahwa hal itu terjadi karena ancaman-ancaman dari Sriwijaya.

Mpu Sindok dan Airlangga
Mpu Sindok, 929 M - 947 M


Prasasti Gulung-gulung dan prasasti Cunggrang ternyata menyebut nama tempat (sekarang masuk wilayah Kab. Pasuruhan) yang tertua dan dapat diidentifikasikan dengan toponim masa sekarang. Kedua prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Sindok pada tahun 851 C. Dilihat dari tinggalan budayanya, maka Raja Sindok dapat dipandang raja besar, tetapi tentang asal usulnya masih belum jelas karena belum ada data yang menerangkan. Dampak dari ketidakjelasan itu akhirnya muncul beberapa hipotesis yang dilancarkan oleh para pakar.
Poerbatjaraka mengacu prasasti Cunggrang menyatakan bahwa Sindok adalah menantu Wawa. Data dari prasasti Cunggrang menyatakan:
"Sang siddha dewata rakryan bawa yayah rakryan bini baji cri parameswari dyah kbi".
Artinya: Almarhum Rakryan Wawa adalah ayah dari permaisuri (Sindok) yang bernama Dyah Kebi.
W. P. Stutterheim menyatakan bahwa Mpu Sindok adalah cucu Daksa dengan argumen sebagai berikut: Bawa tidak sama dengan Wawa, karena di atas aksara wa ada tanda anusuara, maka bawa harus dibaca bawang, jadi rakryan bawang. Wawa tidak pernah memakai gelar rakryan, yang dipergunakan ialah rakai sumba atau rakai pangkaja. Selanjutnya Stutterheim mengatakan kbi yang berarti nenek. Dari argument itu Stutterheim menyimpulkan: Orang yang didharmakan di Cunggrang adalah rakryan Bawang Pu Pastha, adalah nenek Sindok, dan ia adalah permaisuri Raja Daksa (disebut dalam prasasti Sugihmanek 837 C)
Jenjang karir sampai di puncak dilalui Sindok sejak raja-raja sebelumnya. Pada masa Raja Tulodong, Sindok bergelar Mapatih I Bina. Akhirnya Sindok menjadi raja, kebesaran Sindok sebagai raja tampak pada :

Sindok sebagai pendiri dinasti baru (Dinasti Icana) setelah terjadi pergeseran pusat pemerintahan ke arah timur (di Jawa Timur). Meski demikian Sindok tetap mempergunakan istilah Mataram untuk kerajaannya

Ibukota kerajaan pertama ialah Tamwlang , kata Tamwlang mungkin dapat disamakan dengan nama Desa Tembelang di dekat Jombang dan kemudian dipindahkan di Pawitra (Gunung Penanggungan) ditandai dengan pengaturan desa-desa disekitarnya salah satunya adalah prasasti Sukci.

Selama pemerintahannya 927 M - 949 M telah mengeluarkan lebih dua puluh prasasti yang berkaitan dengan pemberian tanah perdikan.

Dari prasasti Cunggrang jelas bahwa tahun 851 C daerah Cunggrang dipercayakan kepada Wahuta Wungkal. Jadi segala urusan yang ada di Cunggrang dipercayakan kepada Wahuta Wungkal. Cunggrang disebut sebagai Watak Bawang artinya darah Cunggrang adalah daerah lungguh milik (rakryan) Bawang. Jadi pajak tanah lungguh diterima oleh pemegang lungguh sebagai gajinya. Apabila tanah lungguh itu dijadikan perdikan (sima) maka pajak tidak diserahkan kepada pemegang lungguh, tetapi diberikan kepada penerima perdikan.
Sejak berkuasanya Sindok maka Jawa Timur menggantikan Jawa Tengah di atas panggung sejarah. Ia meninggalkan banyak prasasti, tetapi peristiwa-peristiwa sejarah tak banyak didapat daripadanya. Kebanyakan berisi pembebasan tanah dari pajak untuk keperluan bangunan-bangunan suci. Prasasti-prasasti ini bentuk dan susunannya boleh dikata serupa: mula-mula uraian pembebasan tanah itu dengan disertai angka tahun, batas serta ukuran-ukuran tanah yang dibebaskan, daftar orang-orang yang diserahi melaksanakan tugas itu, hadiah-hadiah yang dibagikan untuk keselamatan selanjutnya, upacara-upacara yang dilakukan, dan akhirnya kutukan-kutukan terhadap mereka yang tidak mentaati apa yang telah ditetapkan oleh sang raja. Usaha-usaha sosial semuanya itu memberi kesan, bahwa pemerintahan Sindok berlangsung dengan aman dan sejahtera. Salah satunya adalah Prasasti Cungrang, yang menyebutkan bahwa Mpu Sindok memerintahkan agar rakyat Cungrang yang termasuk wilayah Bawang, dibawah langsung Wahuta Tungkal untuk menjadi Sima (Tanah Pardikan) bagi pertapaan di Pawitra (Gunung Penanggungan) dan memeliharaan pertapaan dan prasada juga memperbaiki pawitra. Penanggalan dalam prasasti ini dikonversikan oleh Balai Arkeologi Jogjakarta dengan Hari Jum'at Pahing, tanggal 18 September 929 M. Di Pawitra (Gunung Penanggungan, Pasuruan) inilah Mpu Sindok memerintah kerajaannya.
Pada masa Mpu Sindok inilah ada sebuah kitab suci agama Budha yang terhimpun yaitu Sang Hyang Kamahaayaanikan yang menguraikan soal-soal ajaran dan ibadah agama Budha Tantrayana. Namun agama Sindok adalah agama Hindu sebagaimana dapat diketahui dari prasasti-prasastinya. Sindok memerintah bersama dengan permaisurinya, Sri Paramecrari Sri Wardhani Pu Kbi. Anehnya ialah, bahwa mula-mula Sindok tidak menggunakan gelar maharaja, dan hanya menyebut dirinya <Rakryan Sri Mahamantripu Sindok Sang Sricaanottunggadewawijaya>.Maka mungkin sekali ia telah menaiki takhta kerajaan karena perkawinannya dengan anak Wawa. Baru kemudian ia menggunakan gelar maharaja: Sri Maharaja Rake Hino Sri Icaana Wikramadharmottunggadewa.

Icanattunggawijaya dan Makutawangcawardhana

Sindok memerintah di Pasuruan sampai tahun 947. Pengganti-penggantinya yang dikeluarkan oleh Airlangga dan yang kini disimpan di Indian Museum di Calcutta (karena itu prasasti itu terkenal sebagai prasasti Calcutta). Demikianlah Sindok digantikan oleh anak perempuannya Sri Icanatunggawijaya, yang bersuamikan Raja Lokapala. Dari perkawinan ini lahirlah anak laki-laki, Makutawangcawardhana, yang digambarkan sebagai matahari dalam keluarga Icana. Tentang kedua raja pengganti Sindok tidak ada sesuatu keterangan lain lagi, kecuali bahwa Makutawangcawardhana mempunyai seorang anak perempuan yang cantik sekali, yaitu Mahendradatta atau Gunapriyadharmapati, dan yang bersuamikan Raja Udayana dari keluarga Warmadewa yang memerintah di Bali. Dharmawangsa (Hubungan Jawa dan Bali) 991 M - 1016 M

Pengganti Makutawangcawardhana adalah Sri Dharmawangsa Tguh Anantawikramottunggadewa. Tidak diketahui apakah raja ini saudara Mahendradatta dan dengan demikian termasuk keluarga Icana ataukah bukan. Dalam pemerintahan Dharmawangsa kitab Mahabharata disadur dalam bahasa Jawa Kuno. Dari 18 parwa yang ada, yang kini sampai kepada kita hanyalah 9, diantaranya Adiparwa, Wirataparwa (yang memuat nama raja dan angka tahun 996) dan Bhismaparwa. Pun ada disusun sebuah kitab hukum yang bernama Ciwacaasana (tahun 991). Dalam lapangan politik Dharmawangsa berusaha keras untuk menundukkan Sriwijaya, yang sementara itu merupakan saingan berat, karena menguasai jalan laut India-Indonesia-Tiongkok. Sesudah Balaputra berkuasa di Sumatra, tidak ada lagi sesuatu berita tentang Sriwijaya. Mungkin tenaga sedang dipusatkan kepada usaha memperkuat diri, sebab mulai tahun 904 ternyata Sriwijaya mengirimkan lagi utusan-utusannya ke Tiongkok dengan teratur pada waktu-waktu yang tertentu. Dalam hubungan ini berita yang menarik perhatian: Utusan yang datang dalam tahun 988 dan hendak pulang dua tahun kemudian, tertahan di Kanton sampai tahun 992. Sebabnya ialah karena negeri mereka sedang menghadapi serangan dari Jawa. Dalam tahun 992 utusan mencoba lagi untuk pulang, tetapi hanya dapat berlayar sampai Campa, karena berita yang mereka terima menyatakan bahwa Sriwijaya diduduki musuh. Keadaan perang yang menutup pintu-pintu Sriwijaya itu dibenarkan pula oleh utusan-utusan dari Jawa yang datang di Tiongkok dalam tahun 992 M.
Setelah Dharmawangsa berhasil menundukkan Sriwijaya, maka yang menjadi raja Sriwijaya adalah Sri Cudamaniwarmadewa. Tidak diketahui apakah raja ini ada hubungannya dengan keluarga Warmadewa dari Bali. Hal ini tidak mustahil, mengingat bahwa Dharmawangsa besar pula pengaruhnya di Bali. Dalam perasasti-prasasti nama Mahendradatta selalu didahulukan daripada nama sang Raja Udayana (Dharmodayana Warmadewa) sendiri, seakan-akan sang permaisurilah yang berkuasa. Tambahan pula, prasasti-prasasti Bali yang mula-mula ditulis dalam bahasa Bali kuno, sejak tahun 989 menunjukkan banyak pengaruh dari bahasa Jawa kuno, dan sesudah tahun 1022 M sebagian besar tertulis sama sekali dalam bahasa Jawa kuno.
Dalam tahun 1016 M kerajaan Dharmawangsa sekonyong-konyong mengalami pralaya (= kehancuran). Sang raja dan para pembesar Negara gugur dan menurut batu Calcutta seluruh Jawa bagaikan satu lautan. Dari pralaya ini dapat selamat dari musibah ini adalah Airlangga, anak Mahendradatta, yang waktu itu ada di Jawa dan telah kawin dengan anak Dharmawangsa. Apa sesungguhnya yang menjadi sebab dari pralaya ini tidak dapat dipastikan: hanya adanya perkataan <Raja Wurawari sewaktu keluar dari Lwaraam> pada prasasti Calcutta itu memberi kesan, bahwa kerajaan Dharmawangsa dimusnahkan oleh raja Wurawari tsb. Raja ini tidak dikenal dari keterangan lain manapun juga, maka ada dugaan bahwa yang berdiri di belakang sebenarnya adalah Sriwijaya.

Keluarga Warmadewa di Bali, 914 M - 1080 M

Keluarga raja-raja Warmadewa pertama kali muncul dalam sejarah pada tahun 914 M dengan adanya prasasti dari Sanur yang dikeluarkan oleh Sri Kesariwarmadewa. Raja ini kerajaannya di Singhadwaala, sedangkan raja-raja sebelumnya (dari keluarga lain) bertakhta di Singhamandawa. Salah seorang keturunan Kesariwarmadewa adalah Candrabhayasingha Warmadewa, yang dalam tahun 962 M membangun sebuah telaga dari sumber suci yang ada di desa Manukraya. Desa ini sekarang bernama Manukaya, dan pemandian suci itu adalah Tirtha Empul sekarang di dekat Tampak-siring.Sejak tahun 989 Bali diperintah oleh Sang Ratu Luhur Sri Gunapriyadharmapatni bersama suaminya Sri Dharmodayana Warmadewa. Seperti sudah kita ketahui, Gunapriyadharmapatni adalah anak Makutawangcawardhana dari Jawa Timur dan dalam prasasti-prasasti selalu disebut terlebih dahulu dari nama Udayana sendiri. Di sekitar tahun 1010 M Mehendradatta meninggal, dan dimakamkan di Burwan Kutri dekat Gianyar) serta diwujudkan sebagai Durga. Udayana memerintah sendiri sampai tahun 1022 M.Anak sulung Mahendradatta-Udayana adalah Airlangga yang dikawinkan dengan kemenakan sendiri di Jawa Timur, dan anak bungsunya adalah yang biasa menyebutkan dirinya Anak Wungsu saja. Airlangga nantinya menggantikan Dharmawangsa memerintah di Jawa Timur,dan Anak Wungsu memerintah di Bali dengan nama resmi:Sri Dharmawangcawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa.Rupa-rupanya Anak Wungsu tidak mempunyai keturunan, sebab isterinya terkenal dengan nama Bhatari Mandul dan sesudah masa pemerintahannya nama Warmadewa tidak lagi terdapat pada nama raja-raja Bali yang menggantikannya. Anak Wungsu meninggal di sekitar tahun 1080 M dan dimakamkan di Gunung Kawi (Tampaksiring). Dengan wafatnya raja ini habislah pula pemerintahan keluarga Warmadewa. Airlangga , 1019 M - 1042 M

Sudah kita ketahui, bahwa waktu kerajaan Dharmawangsa mengalami pralaya dalam tahun 1016 M Airlangga dapat meloloskan diri. Ia baru berusia 16 tahun, dan dengan disertai Narottama ia bersembunyi di Wanagiri ikut dengan para petapa. Dalam tahun 1019 M ia dinobatkan menjadi raja pengganti Dharmawangsa oleh para pendeta Budha, Siwa dan Brahmana. Sebagai raja ia bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawirkramottunggadewa, dan daerahnya hanya kecil saja. Sehabis pralaya kerajaan Dharmawangsa runtuh menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing berdiri sendiri. Setelah Airlangga menjadi raja, kerajaan-kerajaan kecil itu ternyata tidak mau tunduk atau menggabungkan diri begitu saja.
Dalam prasastinya, yang kini tersimpan di Calcuta, Airlangga, menjelaskan asal usulnya, yaitu mulai dari Sindok. Di sini nampak pula usaha Airlangga untuk membenarkan kedudukannya sebagai raja yang sesungguhnya berhak atas wilayah dahulunya. Memang sejak tahun 1028 Airlangga mulai merebut kembali daerah-daerah yang diperintah Dharmawangsa. Mungkin saat dimulainya usaha itu ada hubungannya dengan kelemahan Sriwijaya yang baru saja mengalami serangan-serangan dari Colamandala (1023 M dan kemudian 1030 M).
Berturut-turut ditaklukkan Airlangga; Raja Bhismaprabhawa dalam tahun 1028 M - 1029 M, Raja Wijaya dari Wengker dalam tahun 1030 M, Raja Adhamapanuda dalam tahun 1031 M, seorang raja perempuan yang dikatakan seperti raksasa dalam tahun 1032 M, Raja Wurawari dalam tahun 1032 M dan akhirnya dalam tahun 1035 Raja Wengker, yang rupa-rupanya telah bangun kembali, sekali lagi. Setelah memperoleh kembali wilayah yang dianggap memang menjadi haknya, Airlangga berusaha memakmurkan rakyatnya. Dalam pemerintahan ia dibantu oleh pengikutnya yang setia, yaitu Narottama yang kini menjadi Rakryan Kanuruhan dan Niti sebagai Rakryan Kuningan. Ibukotanya, yang dalam tahun 1031 M terletak di Wwatan Mas karena hal ini ditandai tanaman sirih kuning (yang pada masa lalu disebut Wwatan Mas (wit-witan Masbrohon kuning) dan dalam tahun 1037 M dipindahkan ke Kahuripan (Malang). Pelabuhan Hujung Galuh di muara sungai Brantas diperbaiki, sedangkan pelabuhan Kambang Putih (Tuban) diberi hak-hak istimewa. Sungai Brantas, yang selalu menimbulkan kerusakan kalau banjir, kini diberi tanggul di daerah Wringin Sapta.
Ketentraman dan kemakmuran pemerintahan Airlangga nampak juga dari suburnya seni sastra; diantara hasil kesusastraan yang sampai kepada kita ialah kitab Arjunawiwaha yang dikarang oleh Mpu Kanwa dalam tahun 1030 M. Isinya ialah perkawinan Arjuna dengan bidadari-bidadari sebagai hadiah para dewa atas jerih payahnya mengalahkan raksasa-raksasa yang menyerang kayangan. Rupanya cerita ini disusun sebagai kiasan terhadap hasil jerih payah Airlangga sendiri, dan si penulis mempersembahkan karangan itu kepada sang raja.
Dari Arjunawiwaha dapat diketahui bahwa dewasa itu sudah dikenal wayang. Pun pada beberapa prasasti ada disebutkan jabatan <awayang>, atau <aringgit>. Keterangan tentang wayang ini adalah yang pertama kali kita jumpai. Tentunya wayang itu sudah sebelum Airlangga dikenal orang. Airlangga mempunyai seorang perempuan sebagai Mahamantri I hino, yaitu Sanggramawijaya, yang menduduki tempat tertinggi sesudah raja. Rupanya Sanggarmawijaya adalah anak sang raja sendiri, yang dicalonkan akan menggantikan menaiki takhta kerajaan. Akan tetapi setelah tiba masanya, puteri ini menolak menjadi raja dan memilih penghidupan sebagai petapa. Atas usaha Airlangga sendiri dibuatkanlah untuknya sebuah pertapaan di Pucangan (gunung Penanggungan Pasuruan), dan di sinilah Sanggarmawijaya menarik diri sebagai Kili Suci.
Timbullah kini kesulitan bagi Airlangga, oleh karena dengan kepergian puteri mahkota itu dua orang anaknya lagi yang laki-laki mungkin akan merebutkan takhta. Maka diputuskanlah dalam tahun 1041 M untuk membagi kerajaannya menjadi dua, dengan pertolongan seorang brahmana yang sangat terkenal akan kesaktiannya, ialah Mpu Bharada. Dua kerajaan itu ialah Janggala (Singhasari) dengan ibukotanya Kahuripan dan Panjalu (Kadiri) dengan ibukotanya Daha. Gunung Kawi ke Utara dan Selatan yang menjadi batasnya. Segera setelah membagi kerajaannya, Airlangga mengundurkan diri sebagai petapa dengan nama Resi Gntayu. Ia wafat dalam tahun 1049 M, dan dimakamkan di Tirtha, sebuah bangunan suci yang terdiri dari kolam-kolam lereng Timur Gunung Penanggungan Pasuruan dan yang terkenal sebagai Candi Belahan (Candi Sumbertetek). Ia diwujudkan sebagai Wisnu, menaiki Garuda, sebuah arca indah sekali yang kini disimpan di Museum Mojokerto. Semasa hidupnya, Airlangga memang dianggap sebagai titisan Wisnu dan yang menjadi lencana kerajaannya adalah Garudamukha. Lencana ini beberapa kali disebutkan dalam prasasti-prasasti Airlangga, dan sekali-sekali juga dinyatakan sebagai lukisan pada sisi atas prasasti.

Sumber: www.baungcamp.com
0 Responses

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...