ilalangkota

Kera – kera yang di pelihara oleh penemu Banyu Biru ( P. tombro ) berkembang biak hingga beratus – ratus ekor. Pada waktu pendudukan Jepang kera-kera itu habis ditembaki dan sisanya menyingkir kehutan di dekat desa Umbulan yang terkenal dengan sumber air minumnya
Para pedagang yang datang dari semenanjung Arab banyak menimbulkan perubahan dan peradaban baru di tanah air kita khususnya kerajaan Majapahit pada waktu itu. Agama islam yang di bawanya serta cepat sekali meresab dalam hati rakyat terutama rakyat kecil yang pada mulanya selalu hidup dalam lingkungan kasta dan perbedaan sesial lainnya. Pelan tapi pasti kerajaan Majapahit yang dulu di bangun dengan menelan korban harta dan jiwa mulai memudar cahayanya.

Selain disebabkan oleh pengaruh agama islam terdapat pula faktor lain yang mempercepat keruntuhan yaitu terpecah belahnya persatuan diantara pemimpin oleh seorang perwira Majapahit yang telah memeluk agama Islam yaitu Raden Patah lambat laun menampakkan kewibaannya.

Majapahit hancur berantakan, sebagian besar rakyatnya ikut memeluk agama nenek moyangnya. Mereka banyak yang melarikan diri kedaerah lain. Tempat lainnya yang menjadi daerah pelariannya yaitu disebelah selatan kabupaten Pasuruan, sekarang orang mengenalnya dengan daerah Tengger. Diantara sekian banyak pelarian dari Majapahit itu terdapat dua orang bekas prajurit Majapahit yang terdampar disebuah hutan yang sekarang lebih terkenal dengan nama desa Sumberejo, kecamatan Winongan kabupaten Pasuruan. Dua orang tersebut masing-masing bernama KEBUT dan TOMBRO. Hutan itu mereka babat untuk di jadikan daerah pemukiman baru. Oleh kerena pada saat itu banyak sekali tumbuhan pohon pinang maka daerah baru itu lebih terkenal dengan nama Jambaan ( Jambe = pinang, jawa ). Sampai sekarang nama jambaan masih ada dan menjadi salah satu pendukuhan desa Sumberejo. Dua orang bekas prajurit itu hidup dengan tenang dan untuk makannya sehari-hari mereka mengelola tanah. Selain hidup bertani Kebut juga membuka bengkel pandai besi. Sejak dulu dia memang terkenal sebagai empu yang mahir dalam membuat keris dan senjata tajam lainnya, barang peninggalannya yang berupa paron masih dapat disaksikan dan terletak disebelah makamnya yang terdapat dalam komplek pemandian Banyu Biru. Sedangkan tombro yang hanya bertani saja tapi namanya lebih menonjol daripada kebut. Pada suatu hari kerbau peliharaan Tombro dilepas dari kandangnya. Sebagai mana kebiasaan setiap hari. Kedua ekor kerbau itu mencari makan sendiri tanpa ditemani oleh tuannya maupun gembala yang seharusnya mengawasinya. Begitulah kebiasaannya kalau kebetulan bintang-bintang itu tidak dipekerjakan disawah. Sore harinya pulang kekandang yang berdiri di belakang rumah pemiliknya. Tetapi pada hari itu ketika Tombro hendak menutup pintu kandang ternyata tidak melihat batang hidung kerbau-kerbaunya. Bergegaslah dia berangkat mencari ke hutan yang ada disekitar desanya. Tidak begitu sulit mencarinya sebab dia melacak berdasarkan telapak kaki kerbaunya. Ternyata kedua ekor kerbau itu sedang asyik berkubang disebuah kolam kecil yang tidak pernah di ketahuinya Tombro berteriak-teriak agar hewan-hewan peliharaannya itu bangkit dan pulang kekandang. Rupanya kerbau itu tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya Tombro mendekat dan Tombro agak terkejut sebab kerbau-kerbau itu ternyata telah terperangkap dalam lumpur. Segera dipetiknya empat lembar daun keladi yang banyak tumbuh di sekitarnya. Keempat daun itu dia hamparkan didepan kedua ekor kerbau itu. Sekali lagi Tombro membentaknya tampak kedua ekor kerbau itu bergerak dan ujung kakinya menggapai daun keladi lalu tiba-tiba bangkit dan keluar dari kubungan. Hewan-hewan itu lari terbirit-birit pulang kekandangnya. Sepeninggal hewan-hewan peliharaannya Tombro berdiri sejenak dipinggir kolam kecil itu. Di pandangnya kolam itu dan kini dia tidak lagi menyaksikan lumpur yang keruh tapi sebuah kolam yang penuh dengan air yang jernih sehinggadasarnya yang berpasir itu kelihatan nyata. Bahkan disela-selah ranting yang berada didasar kolam tampak dua ekor ikan sengkaring sedang asyik berenang kian kemari. Menurut cerita dari masyarakat kedua ekor ikan itu lambat laun berkembang biak hingga sekarang. Pengunjung pemandian yang kebetulan datang dapat menyaksikan ikan-ikan itu, jumlahnya telah berlipat ganda dan berenang kian kemari seolah-olah berlomba dengan para pengunjung pemandian yang sedang mandi. Dari jernihnya air dasar pasir bebatuan sehingga airnya kelihatan biru. Dengan ditemukannya kolam ajaib itu maka penduduk jambaan banya datang menyaksikannya. Sejak itu para penduduk memeliharanya dengan baik. Dan kolam tersebut dinamakan Banyu Biru. Kabar tentang ditemukannya kolam aneh itu sempat didengar oleh Bupati Pasuruan yang bernama Raden Adipati Nitiningrat. Bersama-sama seorang pembesar belanda yang bernama P.W Hopla (sesuai dengan prasasti yang tertulis dengan huruf jawa ) kedua orang itu ikut pula menyaksikannya. Kolam itu kemudian dibangun oleh pemerintah Belanda dengan nama Telaga Wilis. Telaga ini dibangun terus oleh orang-orang belanda dijadikan pemandian umum. Untuk memperindah pemandian ini dibuat taman-taman bunga dan dilegkapi dengan berjenis-jenis patung yang diambil dari Singosari Malang. Selain memelihara kerbau Tombro juga memelihara kera. Setelah wafat pak Tombro dimakamkan didekat pemandian dan kera-kera itu berkembang biak hingga beratus-ratus ekor. Pada waktu pendudukan Jepang kera-kera itu habis ditembaki dan sisanya menyingkir kehutan di dekat desa Umbulan yang terkenal dengan sumber air minumnya.

Sedangkan cerita pak Kebut tidak banyak dibicarakan orang karena dia hanya menekuni pekerjaannya sebagai pembuat alat pertanian. Dia dimakamkan berjajar dengan makam istrinya yang bernama mbok Kipah. Dipinggir kolam renang lama disebelah utara tiap hari Jum’at orang-orang Tosari banyak berziarah kemakam tersebut. Menurut cerita penduduk setempat setiap ada orang yang berusaha memindahkan paron yang berada didekat makamnya meka keesokan harinya paron itu akan kembali ketempat asalnya.

Kira-kira pada tahun 1980 patung-patung yang banyak bersejarah ditaman pemandian itu dikumpulkn disatu tempat dan dilindungi oleh seksi Kebudayaan.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pasuruan. Tempat itu berada
didalam kompleks pemandian yang sekarang lebih terkenal dengan nama Banyu
Biru .

Letak Geografis : Jarak dari kota kurang lebih 20 Km
Luas wilayah Banyu Biru kurang lebih 4 hektar
Wilayah desa Sumber Rejo
Kecamatan Winongan Kabupaten Pasuruan.


Prasasti – prasasti tersebut terdiri atas 11 buah patung antara lain :
1. 1 volkaning dari pemda Kabupaten Pasuruan dengan bahasa Belanda bertahun 1921
2. 1 prasasti bahasa dan huruf jawa tahun 1847
3. 1 patung betara siwa dengan membawa senjata trisula
4. 1 patung ganesya
5. 1 patung 2 ekor naga berbelit dan lain – lainnya yang kami sendiri tak bisa
 

Terdapat prasasti tertulis diatas batu pualam dengan huruf jawa yang berbunyi :
Telaga Wilis
Rinenggo winangun arja, dening tuan pawalopean. Manulyo tusdhani prasamya
nalika, panjenengane Kanjeng Adipati Nitiadi Ningrat singkalan “ Wisayaning panditha kaloking nat ” . Utawi tahun – tahun Weladeni 1847


Air yang ada di banyu Biru adalah air sumber dan ceritanya setiap hari Jum’at legi orang yang mandi dan berendam disana akan awet muda dan mendatangkan berkah.

Pada hari raya ketupat bila datang ke Banyu Biru untuk menabur uang logam ketelang ( bagian terdalam / tempat sumber ) dan segenggam ketupat serta nyadran ( selamatan ) di makam raja kera dapat membuang sangkal atau kesialan.

------ooooOOoooo------
Foto Banyu Biru Pasuruan Tempo Dulu

Penonton di pertandingan polo di resor Banjoe Biroe (Blue Water), 1920-1942
resort Banjoe Biroe (Blue Water) di Pasuruan
1920-1942
Banjoe Biroe Resor (Blue Water), Pasoeroean
1900-1920
Anak-anak pribumi sedang bermain di Pemandian Banyu Biru
Jalan menuju resor Banjoe Biroe (Blue Water), Pasoeroean
1890-1930
Banjoe Biroe Resor (Blue Water), Pasoeroean
1879-1899
Sumber: Internet
Foto: collectie.tropenmuseum.nl
Labels:
0 Responses

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...