ilalangkota

Jawa Timur memang kaya objek wisata religi. Salah satunya adalah Padepokan Indrakila di lereng Gunung Arjuno. Selain menjadi wisata religi, tempat ini juga cukup menarik bagi para petualang.

Pendaki Gunung Arjuna yang terletak di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, kita akan mendapati cerita-cerita menarik seperti yang pernah ada dalam cerita wayang. Kalau dulu cerita-cerita Epos Mahabharata itu hanya dianggap sebagai cerita belaka dalam pagelaran wayang, tetapi di sini kita mendapati kisah-kisah dalam wayang itu seperti benar-benar pernah terjadi di wilayah ini. Bila punya keinginan mendaki Gunung Arjuna ke puncak yang lebih tinggi seperti yang dilakukan para pecinta alam, bisa lewat dari arah selatan, lewat Purwodadi Pasuruan. Di puncak itu kita mendapati tumpukan batu-batu yang konon dipercayai merupakan makam-makam tokoh-tokoh pewayangan, seperti Abiasa (kakek para Pandawa), Bima, Semar, bahkan ada tempat yang dinamakan ‘Wot Ogal Agil’, yang dalam imajinasi cerita  radio “Satriya Madangkara” merupakan tempat Arya Kamandanu menyimpan pedangnya.

Tetapi bila memilih jalan yang tidak begitu menanjak bisa memilih ke Padepokan Indrakila seperti orang-orang yang datang umumnya dalam rangka wisata religi. Bila dari arah Surabaya–Malang bisa mengambil jalan dari perempatan Dayu, Pandaan. Dari sini bisa ngojek sepeda motor kurang lebih 4 km sampai di Dusun Talunongko atau Desa Gotean. Kedua desa ini merupakan desa terakhir menuju arah Padepokan Indrakila.  ”Sudahlah, kalau naik pelan-pelan saja. Tak usah memaksa. Asalkan hati-hati, tidak sombong dan jahil, pasti selamat. Gunung Arjuna itu masih gawat, tidak bisa sembarangan. Banyak yang kesurupan karena kurang hati-hati.” begitu pesan Marlan (75 tahun), warga Desa Gotean yang telah hafal betul seluk beluk dan “agal alus” di wilayah itu.

Banyak yang berpendapat Gunung Arjuna masih penuh magis dan misteri. Tetapi sebenarnya sangat menarik dan cukup ramah bagi yang sudah sering ke sana. Maka jangan heran apabila menjelang purnama di bulan Suro atau hari Jumat Legi banyak yang melewati jalan menanjak dengan pemandangan ladang-ladang penduduk, kadang berpapasan dengan petani yang memanggul ketela atau memikul rumput untuk ternaknya. Kami pernah bertemu dengan dua orang tua umur 70-an tahun, berjalan tertatih-tatih di punggung bukit ini dengan membawa  tongkat beriringan dengan warga desa yang memikul tas milik kedua orang tadi. Dari Desa Gotean jalan lebih terasa menanjak dibandingan jika melewati dari arah Desa Talunongko. Bagi warga daerah setepat, naik-turun bukit Gotean-Padepokan Indrakila kurang lebih sepanjang 4,5 km merupakan hal biasa memang, tetapi bagi yang belum pernah, naik tanjakan menuju Indrakila akan memakan waktu 3-4 jam, dengan napas yang tersengal-sengal dan badan basah seperti mandi keringat.

Ini seolah-olah menjadi ‘ ‘ujian’ bahwa untuk bisa naik ke tempat yang  diharapkan yang lebih tinggi itu tidaklah mudah. Biasanya perjalanan dilakukan waktu sore hari, sampai di Indrakila saat menjelang malam, udara sudah terasa dingin menggigil tanpa peduli harus cuci muka atau bahkan mandi, semua sudah tak terasa. Tetapi pemandangan sungguh luar biasa, di bawah sinar bulan, kerlap-kerlip lampu daerah kota Pandaan dan sekitarnya tampak seperti permata yang berserakan di hamparan kapas. Wujud Padepokannya sendiri merupakan bangunan sederhana. Dulu beratap ilalang. Beberapa tahun lalu pernah terjadi kebakaran hutan dan melalap sebagian tempat ini, kemudian beberapa bangunannya diganti beratap seng, disamping ada juga pendopo kecil tepat di bawah bangunan yang dipakai sebagai “Sanggar Pamujan”. Saat tertentu banyak yang datang ke tempat ini untuk “nenuwun atau sengaja untuk bersamadi jauh dari keramaian.

Pelajaran Kebidupan
Dulasis (44), juru kunci petilasan yang diserahi menjaga sejak tahun 1992 oleh Dinas Purbakala Mojokerto mengatakan bahwa petilasan-petilasan Padepokan Indrakila merupakan salah satu “pelajaran tentang kehidupan” atau “kawruh urip” karena terdapat gambaran manusia, mulai dari wujud sukma sejati, lahir ke dunia sampai kembali ke haribaan Tuhan (sukma ilang). Urut-urutan petilasan yang ada di sini dimulai dari: 1) Padepokan Sukma Sejati (Mbah Warok), 2) Padepokan Kebon Reca, 3) Padepokan Petung Medot, 4) Padepokan Satriya Menggung, 5) Padepokan Indrakila, 6) Padepokan Candi Laras, 7) Padepokan Pulosari, dan 8) Padepokan Sukmanang. Tetapi di antara padepokan-padepokan itu yang menjadi pusatnya ada pada Padepokan Indrakila. Karena di situlah yang dipercaya sebagai tempat Eyang Begawan Mintaraga saat bertapa meminta “kesaktian” dari Dewata.

Menurut versi juru kunci Dulasis, cerita Padepokan Indrakila diawali ketika Arjuna bertapa digoda Lembu Andini yang rnenyamar sebagai bidadari. Ini yang menyebabkan tapa brata pertama ini gugur, sampai lengah karena air maninya tumpah dan menjadi “kama salah” yang berubah menjadi raksasa yang kelak menjadi Prabu Niwatakawaca dan mempunyai Patih Mamangmurka, yang menggoncangkan kahyangan. Atas saran Bathara Indra Arjuna bertapa lagi di Indrakila, barulah mendapatkan restu dan mendapat kesaktian. Tetapi pada pertarungan pertama mengalami kekalahan, barulah sadar bahwa yang diperangi itu adalah darah dagingnya sendiri. Maka Arjuna mencari bantuan bidadari, dan saat Niwatakawaca tertawa Arjuna memanah tepat di langit-langit mulutnya, akhirnya tewas seketika. Bangkai raksasa Niwatakawaca oleh Eyang Badranaya (Semar) disabda menjadi Celeng Srenggi dan Patih Mamangmurka disabda menjadi tikus putih. Seterusnya kedua hewan ini tetap menjadi musuh Sri Sedana (padi), Sri Kuncung Jagung) dan Sri Jenjen (gadung).

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Teropong, Edisi 21, Mei – Juni 2005, hlm. 46

Sumber: http://jawatimuran.wordpress.com/2012/05/15/padepokan-indrakila-kabupaten-pasuruan/
0 Responses

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...