Sejak system Kerja Paksa ala gubernur jendral Herman Willem Deandels (1808) dan Tanam Paksa (Culture Stelsel) ala Van den Bosch (1816) di terapkan di Pulau Jawa (Indonesia), membuat penderitaan bangsa Indonesia kian bertambah parah saja. Sepertinya setiap pelaksaan program-program pemerintah Hindia Belanda selalu terkesan “DIPAKSAKAN” dan selalu dibumbuhi dengan “KEKERASAN”. Sejak itu aksi kekerasan oleh aparat pemerintah kepada rakyat jajahan hampir menjadi pemandangan umum setiap hari disaksikan oleh bangsa kita.
Nafas ketidak-adilan tampak jelas dalam setiap tindak pelaksanaan program-program pemerintah Hindia Belanda yang penuh KEKERASAN dan PAKSAAN, yang kemudian ditanggapi oleh para pemimpin kita dengan memimpin sebuah perlawanan, bahkan dapat menguras lumbung dana pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Perlawanan itu dapat kita lihat seperti perlawanan rakyat Jawa Tengah yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, perlawanan Padri di Sumatera Barat, perlawanan Aceh, perlawanan rakyat Saparua (Maluku), perlawana rakyat Banjarmasin (Kalsel) yang dipimpin Pangran Antasari dan Pangeran Hidayat, perlawanan rakyat Tapanuli (Sumut) yang dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII, sampai perlawanan rakyat Bali yang dipimpin I Gusti Ngurah-rai, dan masih banyak jenis perlawanan rakyat yang lain, semuanya jenis perlawanan diatas memiliki tujuan sama, yaitu ingin bebas dari belenggu penjajahan. Semua bentuk perlawanan di atas sudah jelas terukir di buku sejarah bangsa Indonesia, padahal masih banyak bentuk-bentuk perlawanan rakyat yang belum masuk buku sejarah nasional kita, mungkin karena bukti-bukti dan saksi-saksi yang masih gelap, bahkan kini hanya tinggal legenda di tengah masyarakat yang terus-menerus tererosi oleh gempuran jaman dalam era globalisasi saat ini, bukan mustahil cerita rakyat atau legenda di beberapa daerah akan ikut musnah dari level perjuangan bangsa Indonesia, sebut saja cerita Sarip Tambak Yoso (Surabaya), cerita SOGOL – Sumur Gemuling (Lumajang), Si Jampang (Betawi), cerita Pak Sakera (Pasuruan), cerita Joko Sambang (Beji – Bangil), dan masih banyak cerita – cerita hero local yang lain, yang masih perlu kita tampilkan ke permukaan sejarah bangsa Indonesia.
Konon pada awal tahun 1900-an di sepanjang kali Porong ( sebagai batas wilayah Sidoarjo dan Pasuruan, sekarang) ada cerita rakyat yang patut kita simak, yaitu proses pembuatan “Jembatan” kali Porong pertama kalinya yang di disain pemerintah Hindia Belanda sebagai sarana transportasi darat dari Surabaya ke Malang, atau sebaliknya, juga dari Surabaya ke Banyuwangi atau sebaliknya, keduanya harus melewati jembatan kali Porong, yang sampai saat ini-pun Jembatan kali Porong masih tetap dijadikan jalur utama Surabaya – Malang, dan Surabaya – Banyuwangi. Nah….., kalau begini kita dapat merasakan, betapa lelah dan capek-nya Jembatan ini yang sampai hari ini masih saja di gunakan ?
Kenapa pemerintah kita tidak segera mencari alternative lain untuk membuat sarana dan jalur baru yang lain yang dapat memecahkan persoalan kemacetan jalan Porong?
Dulu pernah ada jalan TOL Surabaya – Malang yang sedikit memberi rasa “kasihan” kepada Jembatan ini? Biarpun sudah mendapat berbaikan dan renovasi tetapi sudah selayaknya pemerintah mulai memikirkan jalur alternative lain agar beban yang dipikul jembatan ini agak ringan, bayangkan beberapa kendaran yang lewat jembatan ini tiap harinya mencapai 10 ribu kendaraan, bahkan setelah tragedy Lumpur Lapindo menerjang Porong, yang lewat jembatan ini melebihi kapasitas bahkan sampai 100 ribu kendaraan, itupun dipenuhi oleh jenis kendaraan yang bertonase besar dan berat seperti Truk Tronton, Dumtruk, dan lain-lain, bila sedang hari-hari sibuk otomatis kepadatan dan kemacetan tak terelakkan lagi ditambah udara lembab-panas di daerah ini, padahal jembatan ini bersejarah. Kasihan sekali nasibmu!
Jembatan ini pertama kali dibangun pemerintah Hindiua Belanda pada sekitar tahun 1920, pas berbarengan dengan pelaksanaan perbaikan irigasi di wilayah ini seperti yang ukir kokoh di dinding pompa-air kuno di kecamat Jabon, pelaksaan ini sebagai bagian dari program Trilogi Van Deventer, yaitu perbaikan Edukasi, Emigrasi, dan Irigasi.
Semula jalur asli kali Porong itu berada di kali mati sekarang ini, kali ini sebagai batas wilayah Sidoarjo bagian Selatan dan wilayah Pasuruan bagian Utara, tetapi karena sering banjir di kawasan (bantaran) kali ini, dan selalu dikeluhkan rakyat karena luapan banjirnya sampai ke sawah-sawah, demikian hasil panen petani sering tergangu, maka pemerintah Hindia Belanda membuat alternative yang jitu, yaitu dengan meluruskan kali Porong sampai ke Selat Madura seperti yang sekarang kita saksikan. Hal ini bukan berarti segala permasalahan di masyarakat menjadi hilang, yaitu sejak diluruskannya jalur kali Porong ke Selat Madura justru muncul permasalahan baru, yakni beberapa desa di kecamatan Jabon pecah menjadi dua bagian, seperti ada desa Pejarakan Utara dan Pejarakan Selatan, ada desa Kedungcangkring Utara dan Selatan, dan lain-lain, sehingga sekarang bila ada penduduk yang butuh mengurus surat ke kantor desa nya maka harus memutar lewat jembatan kali Porong dulu, jarak tempuhnya semakin jauh saja, bahkan beberapa penduduk desa yang terpecah sulit akrap, bahkan tidak saling kenal dengan penduduk lain, padahal sama-sama warga desa yang sama. Biarpun begitu masyarakat tidak banyak menuntut karena disamping banyak kendala tapi banyak juga keuntungannya, terutama kali Porong sampai saat ini masih terhindar dari BANJIR, piarpun kondisi tanggulnya tidak lebih baik dari tanggul Situ Gintung yang jebol kemarin, apalagi sekarang banyak endapan Lumpur yang sengaja oleh pihak Lapindo dibuang ke kali Porong dengan dalih Perpres tahun 2007 sebagai puyung hukumnya.
Proses pengerjaan Jembatan ini dulu memakan banyak korban jiwa masyarakat bantaran kali Porong, mereka, para penduduk desa di sekitar bantaran kali di paksa kerja tanpa upah, bila menolak akan mendapat hukuman berat, setiap hari para kepala desa diminta government (pemerintah Hinmdia Belanda) mengirimkan 20 orang pekerja paksa untuk mengerjakan tanggul dan jembatan Kali Porong, tidak jarang mereka pulang sudah berstatus “mayat”, karena meninggal saat kerja paksa jaman itu. Kondisi ini terus berlanjut sampai muncul tokoh pembangkang dari desa Gunung Gangsir yang terkenal dengan sebutan: Joko Sambang.
Siapakah Joko Sambang itu ?
Joko Sambang sebagai tokoh sentral di cerita ini merupakan putra tunggal dari seorang Lurah (Kepala desa) yang bernama Bintoro dan seorang ibu yang bernama Sutina di desa Beji Gondanglegi – Pasuruan. Lurah ini berjuang melawan government bersama sorang Sekdes (bhs.jawa: Carik) yang bernama Wicaksono. Mereka melawan government karena menolak perintah mengirimkan penduduknya untuk bekerja membuat kali dan jembatan Porong, dengan alasan desanya jauh dari areal kali Porong, dan untuk melindungi penduduknya mereka rela dihukum dan di jebloskan kepenjara, sementara itu istrinya Lurah Bintoro yang bernama Sutina yang kondang karena kecantikan parasnya memang amat sayang untuk ditinggal di rumah sendirian, hal ini diambil kesempatan oleh para Lurah desa-desa sekitarnya untuk mendekatinya, termasuk Lurah Panderejo yang bernama Bargowo dan cariknya yang bernama Abi Lowo, mereka ini melakukan keinginannya dengan segala cara, termasuk menghasut government untuk memaksa Lurah Bintoro memperkerjakan penduduknya ke Kali Porong padahal lokasi desanya jauh dari bantaran kali Porong.
Rupanya keinginan Lurah Bargowo yang terusa menggelora membuat mata hatinya buta, bahwa Sutina bersama Lurah Bintoro sudah dikaruniai anak yang mulai menginjak usia remaja yang sudah siap menghadapi musuh apapun termasuk gangguan Lurah Bargowo dan Carik Abi Lowo.
Yang terkenal sakti mandraguna.
Karena hasutan dan perasaan iri merekalah Lurah Bintoro di penjara dan dihukum tembak oleh government, tapi hukuman ini gagal karena Lurah Bintoro kebal (sakti) terhadap senjata maupun peluru senapan, maka government meminta Lurah Bargowo dan Carik Abi Lowo untuk memberi hukuman sendiri kepada Lurah Bintoro, berkat keroyokan dua lawan satu, Lurah Bintoro tewas. Kemudian Sutina dikejar-kejar oleh Lurah Bargowo dan Carik Abi Lowo, berusaha lari minta perlindungan kepada puteranya yang bernama Joko Sambang yang masih berstatus siswa sebuah perguruan silat di Gunung Penanggungan dan bersemedi (bertapa) di Jolotundo, sehingga untuk sementara nasib Sutina aman!
Peristiwa pengejaran Sutina ini dibantu oleh Joko Semprul, yang sehari-hari berprofesi sebagai kaki-tangan/centeng-nya government Belanda di Kali Porong. Joko Semprul bilang kepada Lurah Bargowo dan Carik Abi Lowo, “Kalian tidak akan bisa mendapatkan Sutina tanpa membunuh Joko Sambang lebih dahulu!”, “Lha terus caranya bagaimana? “, sela mereka.
“Itu soal gampang !” jawab Joko Semprul. Dengan arahan Joko Semprul, Lurah Bargowo dan Carik Abi Lowo mengadakan saimbara di jembatan kali Porong, barang siapa yang dapat menebang pohon kenari yang berada persis di tanggul selatan jembatan kali Porong akan mendapatkan hadiah 100 ribu Golden (Uang emas Belanda). Pohon ini adalah pohon tua yang terkenal angker, siapa saja yang mau menebang pohon tersebut biasanya akan kena kutukan, berupa sakit jiwa, atau bahkan meninggal dunia, sehingga hanya orang-orang yang sakti saja yang mau ikut sayembara tersebut, termasuk Joko Sambang.
Joko Sambang mau ikut sayembara bukan karena ingin mendapatkan uang hadiah, melainkan ingin menumpas kelicikan dan tipu muslihat Lurah Bargowo, Carik Abi Lowo dan Joko Semprul, karena ketiga-tiganya merupakan orang yang selalu mengganggu ketenangan ibunya, sekaligus sebagai orang kepercayaan government Belanda di Kali Porong.
Joko Sambang sadar bahwa ia tidak akan mampu menghadapi ketiganya bila cuma seorang diri, maka ia mengajak teman seperguruannya, yaitu Joko Buntek untuk membantu dirinya,
Dari ilmu dua orang inilah muncul kekuatan yang amat dahsyat, selain kekuatan ilmu yang berlipat ganda, juga keberanian menentang kedzaliman dari para tokoh antagonis yang selama ini meresahkan masyarakat, seperti yang dilakukan selama ini oleh tokoh Lurah Bargowo, Carik Abi Lowo, Joko Semprul dan tentu saja para pegawai government Belanda.
Ternyata pohon ini benar-benar sakti dan bertua, terbukti pada saat Joko Sambang mendekati pohon kenari tua itu tiba-tiba pohon tersebut dapat berbicara, tentu saja hanya Joko Sambang yang tahu isi bicaranya, “ Hei…Anak muda, jangan turuti sayembara Lurah Bargowo, karena orang ini sungguh licik dan ambisius, dibalik sayembara ini sebenarnya ia berharap engkau kalah dan mendapat hukuman darinya, sehingga dengan mudah ia dapat mempersunting ibumu, Haa…ha…ha….!”.
Suara itu terdengar jelas ditelinga Joko Sampang, apalagi sangat keras menggelegar, sampai-sampai Joko Sambang tidak kuat berdiri tegak lagi.
Karena lama Joko Sambang tidak bergerak, maka Joko Sambang dinyatakan kalah dan harus mendapatkan hukuman, Joko Sambang langsung di ikat di pohon kenari tua itu disaksikan para penonton dan para pekerja paksa yang memadati arena sayembara.
Untung Joko Buntek segera datang dan melepaskan ikatan tangan dan kaki Joko Sambang dan mereka berbalik mengejar Lurah Bargowo, Carik Abi Lowo, dan Joko Semprul.
Sebelum mengejar tiga tokoh antagonis diatas, Joko Buntek mengajukan syarat kepada Joko Sambang, yang isinya: Jangan pernah mengejar musuh sampai daerah Kepulungan, karena itu wilayah kekuasaan Joko Buntek! Dan syarat itupun disetujui Joko Sambang.
Maka tidak lama setelah itu dua orang jagoan muda ini segera mengejar Lurah Bargowo, Carik Abi Lowo, dan Joko Semprul. Al-hasil dari pengejaran tiga tokoh pengganggu masyarakat iniu dapat segera ditumpas. Setelah peristiwa itu para pegawai government-pun mulai berfikir realistis, yaitu mereka hanya memperkerjakan penduduk di sekitar kali Porong saja, dan tidak mau lagi melibatkan masyarakat di luar wilayah bantaran kali Porong.
Setelah kondisi sekitar kali Porong aman, Joko Sambang meninggal dunia di desanya Gununggangsir - Beji Pasuruan, dan dimakamkan bersebelahan dengan makam Ayah dan Ibundanya.
Makam Joko Sambang, Lurah Bintoro, dan Sutina sampai kini masih banyak di datangi oleh para peziarah dari berbagai daerah guna mendapatkan berkah.
Memang dari nama-nama tokoh diatas bukan nama yang sebenarnya, tapi memiliki makna kias yang jelas yang dapat dengan mudah ditangkap makna dan isinya, seperti identifikasi tokoh-tokoh ini;
Joko Semprul, Semprul bermakna orang muda yang tidak memiliki pendirian dan
prilakunya selalu menjengkelkan masyarakat.
Lurah Bargowo mungkin memiliki arti orang yang suka mengganggu orang yang sudah berkeluarga.
Carik Abi Lowo juga mungkin memiliki arti orang yang suka kelayapan malam dan suka menghasut seperti prilaku kelelawar.
Lurah Bintoro adalah lurah yang jadi pemimpin sejati penduduknya, suka melindungi penduduk dari mara-bahaya.
Carik Wicaksono adalah orang yang selalu bijak dalam berprilaku di masyarakat.
Tokoh Sutina menggambarkan tokoh perempuan yang cantik, setia, dan tidak suka ke dloliman.
Joko Buntek melambangkan tokoh pemuda yang diharapkan kehadirannya disaat-saat diperlukan.
Sedangkan tokoh Joko Sambang memiliki arti orang muda yang suka “sambang” atau “silaturrahim” atau “mengunjungi” kaumnya yang sedang menderita, dan ia selalu membela kebenaran dan menumpas segala bentuk keserakahan, termasuk membela kaumnya yang sedang sengsara karena di paksa kerja tanpa upah oleh government Belanda membuat jembatan dan tanggul kali Porong pada sekitar tahun 1920.
Demikian tulisan singkat ini, mudah-mudahan dapat menghidupkan kembali semangat juang bangsa ini yang mulai luntur tergerus majunya teknologi dan globalisasi.
Joko Sambang Of Legend
Ditulis Oleh
Drs. Imam Musholli
http://imammusholli.blogspot.com/2009/04/joko-sambang-of-legend.html
foto jalan Porong Pasuruan tahun 1895 dari http://media-kitlv.nl
Tahun baru telah menanti kita semua, menjelang akhir tahun kami S1288poker akan membagikan Free chips untuk anda semua member setia S1288poker. Mau chips gratis? dan hadian nya?
Mari bergabung sekarang juga hanya DI S1288poker
untuk info lebih lanjut silakan hubungi kontak CS S1288poker di bawah ini
BBM - 7AC8D76B
WA - 08122221680
LINE : S1288_POKER
Salam JP
by S1288poker.