Kita mengetahui bahwa semua barang baik yang bersifat konkrit maupun bersifat abstrak selalu diberi nama, dalam hal ini termasuk tempat hunian maupun tempat yang tidak dihuni (dusun,desa,hutan,dst) Banyak cara orang memberi nama pada suatu tempat, ada yang diambilkan dari unsur nama tumbuh-tumbuhan (flora) misalnya: Pohjentrek, Pasuruan, Puspo, Kepuhrejo. Ada yang diambilkan dari unsur binatang (fauna) misalnya: Keboireng, Gununggangsir. Ada pula yang diambilkan dari unsur alam, harapan, maupun unsur kepercayaan misalnya: Wonorejo, Banyubiru, Ngerong, Sukorejo, Suci, Pawitra. Setiap nama tentu mempunyai makna, paling tidak nama mempunyai dua makna yaitu Makna Tanda dan Makna Simbolis. Karena setiap tempat diberi nama, maka akan mudah membedakan antara tempat yang satu dengan yang lainnya. Dapat dibayangkan bagaimana rancunya jika setiap tempat tidak diberi nama sebagai tanda. Kecuali nama sebagai tanda, nama juga mengandung makna simbolis. Makna simbolis pada nama dapat dikaitkan dengan sejarah (historis) misalnya: Purwodadi, Rejoso, Purwosari. Atau dikaitkan dengan harapan tertentu misalnya: Sukorejo, Wonorejo, Kejayan. Makna simbolis dapat dihubungkan dengan kepercayaan misalnya: Sang Hyang Dammapartapan I pawitra, Sang Hyang Tirtha Pancuran Pawitra. Pasuruan sebagai nama tempat hunian masyarakat dikenal pertama kali dan secara tertulis disebut dalam buku Nagara Kertagama. Tahun I daton nire pasuruhan manimpan anidul ri kapananan, anulya atut damargga madulur tikan ratha daton rin andoh wawan, muah I keduplukh lawan I hambal antya nikan pradecenitun,... Artinya: Sungguh setelah sampai di Pasuruan, ia membelok kearah selatan Kapananan, kemudian mengikuti jalan utama semua kereta bersama-sama memasuki Andoh Wawang dan Hambal, semua desa (yang dikunjungi) selalu diperhatikan. Dalam buku tulisan orang Belanda karena dialek dan ejaan tulisannya maka Pasuruan ditulis Passourrouang, Pasoeroeang atau Pasoeroean. Sekarang dari kata apa atau mengapa tempat ini diberi nama Pasuruan. Dari segi kebahasaan (linguistik) kata Pasuruan dapat diurai menjadi pa - suruh - an artinya tempat tumbuh tanaman suruh atau kumpulan daun suruh. Suruh (bahasa Jawa baru) atau sirih (bahasa Indonesia) bahasa Jawa kunonya sereh . Mengunyah sirih sangat terkenal di Nusantara, dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Memang sekarang tradisi mengunyah sirih bagi kaum muda sudah jarang dilakukan, tetapi bagi kaum tua di pedesaan masih banyak yang mengunyah sirih. Mengunyah sirih mempunyai makna simbolis yaitu persaudaraan dalam interaksi sosial. Sehingga pada waktu dulu jika kedatangan tamu tentu disambut dengan puan berisi sirih lengkap dengan kapur, gambir, dan buah pinangnya. Sampai sekarang sirih masih dipergunakan pada saat panggih temanten sebagai sadak (lempar-lemparan sirih yang dilakukan mempelai pria dan wanita). Demikian terkenalnya daun sirih di Nusantara baik masa lalu maupun sekarang. Sereh dapat juga berarti perintah, dalam kesusastraan Jawa Kuno itu sering dipergunakan . Jadi arti sereh sepadan dengan arti suruh dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Yang jadi masalah ialah apakah pada masa itu (abad 10 M) bahasa Melayu kuno telah berkembang di pulau Jawa. 7 bahasa Melayu kuno terkenal di Sumatera (prasasti-prasasti dari kerajaan Sriwijaya). Di Jawa pun ternyata ditemukan beberapa prasasti berbahasa Melayu kuno yaitu prasasti Payaman (ditemukan di Bukateja Purbalingga, Jawa Tengah), Prasasti Dewa Drabya (ditemukan di Dieng), prasasti Manjuarigreha 714 C = 2-XI-792 (di Candi Sewu). Di wilayah Selendra, prasasti Sanghyang Wintang (Gandasuli II) dan prasasti Dang pu Hawang Glis (Gandasuli I)749 C = 2-XI-792 M. Dari beberapa prasasti yang berbahasa Melayu yang bermasa sekitar abad VIII - IX M, jelas bahwa bahasa Melayu kuno berkembang sampai Pilipina Selatan (prasasti 822 C = 900M) Dari kenyataan demikian. Maka dapat disimpulkan bahwa sereh yang berarti perintah (Jawa kuno) sepadan dengan arti suruh (bahasa Melayu kuno, Indonesia). Jadi Paserehan atau Pasuruhan adalah tempat perintah atau pemerintahan, yaitu pemerintahan yang melingkupi wilayah Pasuruhan. Pada konteks yang lain sejarah Kabupaten Pasuruan memang sangat unik dari segi nama Pasuruan disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama, Babad Tanah Jawi dan Babad Giyanti dengan kata Pasuruhan dan Kakawin Sorandaka menyebutkan ada nama Sora yang daerahnya disebut dalam kitab tersebut disebut dengan Pasoraan yang berbatasan dengan daerah yang bernama Japan dan memiliki Syah Bandar yang bernama Banger (dalam catatan Tiongkok disebut Bang-il), oleh Belanda merujuk sebuah buku yaitu Beknopte Encyclopedie Van Nedelansch-Indie buah karya T.J. Bezemer, 1921 disebut dengan Pasoeroean. Secara umum kita mengetahui bahwa rangkaian lintasan sejarah di Indonesia berjalan dari satu masa ke masa berikutnya dengan penuh dinamika demikian halnya Pasuruan. Dalam berbagai sumber disebutkan banyak daerah yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Pasuruan menjadi saksi sejarah pada zamannya, hal ini menunjukkan eksistensi Pasuruan sebagai daerah penting pada masa itu sebagai contoh adalah disebutkannya beberapa daerah.
Sumber: baungcamp.com
Sumber: baungcamp.com
Post a Comment