Pasuruhan sekarang merupakan bagian yang penting dalam sejarah Majapahit karena, Bermula dari telaah terhadap runtuhnya Tumapel dan Singosari Oleh Jayakatwang pada tahun 1292 M, maka secara umum dapat diterima bahwa berdirinya Majapahit adalah tahun 1292 M atau 1293 M.Groeneveldt berpendapat bahwa kedatangan Meng-Chi, utusan Cina ke Tumapel, tidak jauh dari tahun 1292 M. Berangkat dari ceritera bahwa keberadaan Raden Wijaya sebagai pemilik hutan Terik atas anugerah Jayakatwang, setelah runtuhnya Tumapel pada tahun 1292 M, maka diperkirakan berdirinya Majapahit adalah tahun 1293. Namun demikian tidak terdapat prasasti yang secara jelas menunjukkan titik waktu secara persis. Dari beberapa sumber dapat diperoleh titik waktu yang beragam. Sejarah Nasional Indonesia menyebutkan bahwa penobatan R. Wijaya sebagai Raja Majapahit terjadi pada tahun 1293 M. Prasasti Gunung Butak/Kudadu yang berjangka tahun 1216 C (1294 M), menyebutkan bahwa Raden Wijaya memberikan status sima pada desa Kudadu telah berjasa memberikan perlindungan dan mengantarkannya ke desa Rembang (Pasuruan) untuk memungkinkan berlayar ke Madura dalam upaya mencari bantuan kepada Adipati Wirajaya. Prasasti tersebut dikenal sebagai prasasti Kudadu menceritakan secara panjang lebar mengenai perjuangan Raden Wijaya dalam melawan kekuasaan Jayakatwang hingga ia berhasil menjadi Raja Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Namun demikian didalamnya tidak menyebut tanggal penobatan raja, meskipun menurut JLA. Brandes prasasti tersebut diterbitkan pada tarikh yang dapat dikonversikan menjadi tanggal 11 September 1294. Cerita tentang pengungsian Raden Wijaya ke Madura juga terdapat pada prasasti Sukamerta bertahun 1218 C yang menurut CC. Berg dapat dikonversikan menjadi tanggal 29 Oktober 1296. Dari sebuah legenda yang berasal dari Bupati Demak, Kyai Adipati Adimanggala, Raffles mendapati bahwa Kerajaan Majapahit didirikan pada tahun 1221 C (1299 M). Dikisahkan bahwa nama Majapahit erat kaitannya dengan pelarian R. Tanduran dari Pajajaran karena kalah perang, sesampai di daerah Wirosobo ditemukan buah Maja yang ketika dimakan terasa pahit. Atas pertanyaan, Kyai Wira pengikut setianya. Menjawab bahwa rasa pahit itu sebagai peringatan bahwa di tempat tersebut nenek moyangnya gugur dalam perang Baratayudha, di daerah tersebut kemudian dibangun pusat pemerintahan dengan nama Majapahit atau Maospahit. Informasi lain juga dapat ditemukan dalam Kidung Harsa Wijaya. Dijelaskan bahwa R. Wijaya dinobatkan sebagai Raja Majapahit pada tanggal 15 bulan Kartika 1215 C. Menurut C.C. Berg ini dapat dikonversikan menjadi tanggal 12 (21) Nopember 1293 M. Tanda kurung menunjukkan dalam konversi atau bahkan pada bacaan teks yang kurang jelas. Pada awal masa pemerintahannya di Jawa, Th. S. Raffles menemukan manuskrip asal Bali yang ber tarikh 1465 M. Dalam manuskrip tersebut diberitakan bahwa Raden Wijaya diangkat pada jabatan kepala pemerintahan dengan gelar Bupati Sang Brawijaya dengan tugas mempersiapkan hutan Terik sebagai pusat pemerintahan. Informasi dari manuskrip ini tidak menunjukkan titik waktu, sesudah atau setelah penyerbuan Jayakatwang tehadap Tumapel. Bila petunjuk itu, terjadi sebelumnya maka pemberian gelar Bupati tersebut mengesankan penunjukkannya oleh Raja Kertanegara sebagai jabatan yang dianugerahkan kepada menantu atau putera raja yang telah menikah. Ini dapat berarti sebuah strategi politik dalam rangka mengawasi jalur lintas sungai ke Daha. Atau bila pengangkatan terjadi setelah runtuhnya Tumapel, berarti dilakukan oleh Jayakatwang. Pengangkatan tersebut diperkirakan juga sebuah strategi politik untuk menghindari berbagai ancaman dari penguasa lokal yang berasal dari dinasti-dinasti sebelumnya juga oleh raja-raja legitimasinya dengan menunjukkan hubungannya dengan dinasti yang berkuasa. Ini mengesankan bahwa di daerah tersebut terdapat persaingan diam-diam antara para penguasa yang berasal dari dinasti sebelumnya. Versi Kidung Wijaya Krama menyebutkan bahwa pembukaan hutan Terik ini dilakukan oleh R. Wijaya dengan bantuan tenaga orang-orang Madura atas bantuan Adipati Wiraraja. Daerah yang dibuka tersebut kemudian dinamakan Wilwatikta atau Majapahit. Nama ini berasal dari pengalaman pengikutnya yang pada saat istirahat kerja mencicipi buah maja yang terasa pahit. Keberadaan Majapahit juga dapat dilacak dalam berita Cina. Dikisahkan bahwa dalam rangka penyerbuan ke Jawa untuk menaklukan Raja Kertanegara, tentara Tartar dari Kekaisaran Cina seluruhnya telah berlabuh di muara Sungai Patsieh pada hari ke satu bulan ke tiga. Pada hari yang sama pembesar-pembesar pasukan “penakluk” Tartar yang ke Majapahit melalui Tuban melaporkan bahwa R. Wijaya ingin menyatakan takluk dan karena tidak dapat meninggalkan pasukannya, ia mempersilahkan ketiga pembesar tersebut untuk pergi bersama-sama dengan perdana menteri Sih la nan da Ch'a ya dan empat belas pengawalnya yang akan datang dan menerima pasukan kaisar. Utusan tersebut mengatakan bahwa tentara Jayakatwang telah mengepung Majapahit dan mengharapkan perlindungan. Ike Mese dan Kao Hsing beserta pasukannya segera menuju Cangku dan pada hari ke tujuh berperang melawan pasukan Jayakatwang yang datang dari arah tenggara dan arah barat daya. Serangan tersebut dapat digagalkan oleh pasukan gabungan Raden Wijaya, Ike Mese dan Kao Hsing, sehingga induk pasukan mundur ke Daha. Pada tanggal 15 bulan tiga, dilakukan konsolidasi pasukan gabungan untuk secara bersama menyerbu ibukota kerajaan Daha. Pasukan gabungan menuju Daha dalam tiga devisi, yakni pimpinan Ike Mese, Kao Hsing, dan Raden Wijaya. Sebagian diantara mereka melalui sungai dan yang lain menuju jalan yang membujur di kiri dan kanan sepanjang sungai Brantas. Pertahanan kota Daha berhasil dihancurkan pada tanggal 19 bulan tiga, dengan korban lebih dari 5.000 orang. Setelah berakhirnya perang Daha, Raden Wijaya mulai mengatur strategi untuk menghadapi pasukan Tartar yang selama ini telah menjadi sekutunya menyerang Daha. Perlawanan ini diperlukan untuk membatalkan persetujuan tidak tertulis bahwa di akhir Perang Raden Wijaya bersedia tunduk dan membayar upeti kepada Kaisar Cina. Dengan alasan untuk mempersiapkan penulisan surat penyerahan dan mengumpulkan barang-barang berharga di istananya untuk disampaikan kepada kaisar, pada tanggal dua bulan empat Raden Wijaya diijinkan kembali ke Majapahit dengan kawalan dua pembesar dan 200 orang prajurit Tartar.Dalam perjalanan ke Majapahit Raden Wijaya meninggalkan pasukan Tartar untuk kemudian melakukan pembunuhan terhadap mereka. Sesampainya di Majapahit Raden Wijaya membuat persiapan untuk melawan Pasukan Tartar yang masih bertahan di Daha. Pada tanggal 19 bulan empat penyerangan terhadap daha dilaksanakan dan terjadilah perang besar dan memyebabkan kedua belah pihak mengalami luka yang hebat. Dalam pertempuran ini pasukan Sih-Pi yang ada di barisan belakang dan terputus dari induknya sehingga harus melakukan perlawanan sepanjang perjalanan sejauh 300 li sebelum akhirnya mencapai kapalnya.pada tanggal 24 bulan empat dengan membawa tawanan lebih dari 100 orang terdiri dari anak-anak dan para pembesar Jayakatwang beserta peta wilayah, daftar penduduk, dan surat dengan huruf-huruf emas, pasukan Tartar kembali ke Negerinya. Kertarajasa Jayawardhana, 1293 M - 1309 M Raden Wijaya, yang sedang mengejar tentara Kadiri, terpaksa melarikan diri, setelah ia mendengar bahwa Singasari telah jatuh dan Arddharaja kemudian berbalik memihak Kadiri. Dengan bantuan lurah desa Kudadu ia dapat menyeberang ke Madura. Tujuannya ialah untuk mencari perlindungan dan bantuan kepada Wiraraja di Sungeneb. Atas nasehat Wiraraja ini, maka Raden Wijaya pergi ke Kadiri untuk menghambakan dirinya kepada Jayakatwang. Atas jaminan Wiraraja, diterimalah pengabdian Wijaya itu, dan ia dianugerahi tanah di desa Tarik, yang dengan bantuan orang-orang Madura dibuka dan menjadi desa yang subur dengan nama Majapahit. Sementara itu tentara Tiongkok sebanyak 20.000 orang yang diangkut dengan 1000 kapal dengan membawa bekal untuk satu tahun, telah mulai mendarat di Tuban dan di dekat Surabaya, dengan tujuan membalas penghinaan Kertanegara terhadap Kubilai Khan. Raden Wijaya menggunakan kesempatan ini untuk menghantam musuh. Ia menggabungkan diri dengan tentara Tiongkok itu, dan bersama mereka menggempur Kadiri. Jayakatwang mempertahankan dirinya mati-matian, akan tetapi dengan serangan-serangan hebat yang dilancarkan sampai tiga kali dalam satu hari tentara Tiongkok dapat memaksa Raja Kadiri untuk menyerah. Waktu pulang kembali ke pelabuhan, Wijaya menimbulkan kekacauan di kalangan tentara Tiongkok dengan melakukan serangan-serangan mendadak. Tentara Tiongkok, yang merasa sudah selesai tugasnya, segera naik kapal untuk berlayar pulang, meskipun harus banyak meninggalkan korban. Dengan diperkuat oleh pasukan-pasukan Singasari yang kembali dari Sumatra, Raden Wijaya kini menjadi raja pertama kerajaan Majapahit, dengan bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Ia mempunyai 4 orang istri, semuanya anak Kertanegara. Yang terpenting adalah yang tertua, yang menjadi parameswari bernama Tribhuwana, dan yang bungsu yang bernama Gayatri. Gayatri disebut juga Rajapatni, dan ia lebih-lebih terkenal karena daripadanyalah berlangsungnya keluarga raja-raja Majapahit selanjutnya. Kertararjasa memerintah dengan tegas dan bijaksana. Maka keadaan Negara tentram dan aman. Susunan pemerintahan serupa dengan pemerintahan Singasari. Hanyalah kepada 3 orang menteri ditambahkan dua lagi, yaitu Rakryan Rangga dan Rakryan Tumenggung. Wiraraja, yang telah banyak memberi bantuan, diberi kedudukan yang sangat tinggi, ditambah dengan kekuasaan atas daerah Lumajang sampai Blambangan. Para pembantu-pembantunya yang setia dan telah sedia menanggung penderitaan dahulu, diberi pula tempat yang semestinya di dalam pemerintahan. Kertarajasa wafat dalam tahun 1209, dengan meninggalkan 3 orang anak: 2 anak perempuan dari Gayatri, masing-masing diberi julukan Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, dan 1 anak laki-laki dari Parameswari, yaitu Jayanegara, yang dalam tahun 1309 manaiki takhta kerajaan Majapahit. Kertarajasa dicandikan dalam candi Siwa di Simping (Candi Sumberjati di sebelah Selatan Blitar) dana dalam candi Budha di Antahpura di dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah Harihara, yaitu Wisnu dan Siwa dalam satu arca. Parameswarenya, Tribhuwana, dimuliakan di Candi Rimbi (sebelah Barat daya Mojokerto) dan diwujudkan sebagai Parwati. Jayanegara, 1309-1328 Pemerintahan Jayanagara ternyata menjumpai banyak kesulitan, yang trutama ditimbulkan karena pemberontakan-pemberontakan dari mereka yang selalu setia kepada Kertarajasa. Pemberontakan-pemberontakan itu sebenarnya tidak ditujukan terhadap raja, melainkan terhadap Mahapati, seorang pejabat tinggi yang rupa-rupanya sangat besar pengaruhnya atas raja dan yang bertindak kurang bijaksana. Pemberontakan pertama sebelumnya sudah dimulai sebelum Kertarajasa wafat. Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, merasa tidak puas, karena mengharapkan dijadikan patih Majapahit, sedangkan yang diangkat adalah Nambi. Dalam tahun 1309 usaha Rangga Lawe digagalkan. Pemberontakan kedua dalam tahun 1311, di bawah pimpinan Sora, seorang rakryan di Majapahit, dapat pula ditindas. Menyusullah pemberontakan yang ketiga dalam tahun 1316. Kali ini dari pihak rakryan apatihnya sendiri, yaitu Nambi. Nambi memperkuat dirinya di daerah ayahnya (Wiraraja) di Lumajang, dan membuat benteng di Pajarakan. Lumajang dan Pajarakan ini digempur tentara Majapahit, dan Nambi sekeluarganya dibinasakan. Yang membahayakan adalah pemberontakan Kuti dalam tahun 1319. ibukota Majapahit sampai diduduki, dan sang raja terpaksa melarikan diri di bawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari, 15 orang banyaknya di bawah pimpinan Gajah Mada. Beberapa waktu kemudian, setelah menyatakan sendiri bahwa di Majapahit masih lebih dari cukup pengikut-pengikut raja, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya menggempur Kuti, dibantu oleh pasukan-pasukan Majapahit. Demikianlah maka Jayanegara tanpa sesuatu rintangan dapat kembali lagi ke ibukota untuk melanjutkan pemerintahannya. Jayanegara wafat dalam tahun 1328 dengan tidak meninggalkan seorang keturunan. Ia dicandikan di Sila Petak dan di Bubat dengan perwujudannya sebagai Wisnu, dan Du Sukalila sebagai Amoghasiddhi. Di mana candi-candi itu, tidak dapat diketahui kembali. Dalam sebuah prasastinya Jayanegara dianggap sebagai titisan Wisnu, Lancana negaranya ialah Minadwaya (= dua ekor ikan). Tribhuwana, 1328-1350 Dengan tidak adanya pengganti raja dari keturunan Jayanegara, maka semestinya Gayatri atau Rajapatnilah yang menggantikannya memegang tampuk pemerintahan. Akan tetapi sementara itu Gayatri telah meninggalkan hidup keduniawian sebagai biksuni. Maka anaknyalah, Bhre Kahuripan, yang mewakili ibunda menaiki takhta kerajaan, dengan bergelar Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani. Delam tahun 1331 timbullah suatu pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Mungkin sekali dalam hubungan inilah maka patih Majapahit, Pu Naga, diganti dengan Gajah Mada, yang waktu itu menjabat patih Daha. Yang nyata ialah bahwa dengan didampingi Gajah Mada sang raja putri dapat menindas pemberontakan tadi dalam tahun 1331 M itu juga. Hasrat Gajah Mada untuk menunjukkan pengabdiannya kepada Majapahit yang ia cita-citakan sebagai satu-satunya kerajaan yang berkuasa, dapat kita ketahui dari sumpahnya yang menjadi terkenal, ialah : bahwa ia tidak akan merasakan palapa, sebelum daerah seluruh nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit ( (Palapa artinya garam dan rempah-rempah, jadi maksud Gajah Mada ialah untukMutih, makan nasi tanpa apa-apa). Langkah pertama mempersatukan daerah yang belum bernaung di bawah panji-panji Majapahit dilakukan dalam tahun 1343 M dan tertuju kepada Bali, yang setelah ditaklukkan Kertanegara telah bebas kambali. Serangan terhadap Bali dipimpin oleh Gajah Mada sendiri, bersama dengan Adityawarman, putera Majapahit keturunan Malayu. Kenyataan di Bali, bahwa pengakuan terhadap kekuasaan Majapahit harus dikekalkan dengan pemerintahan yang lebih langsung, memberi keputusan kepada Gajah Mada untuk menempatkan Adityawarman di Malayu. Di Majapahit Adityawarman menjabat Wrddhamantri dengan gelar Arrya Dewaraja Pu Aditya. Segera setelah Adityawarman tiba di Sumatra, ia menyusun kembali pemerintahan Mauliwarmmadewa yang kita kenal dari tahun 1286 M. ia memperluas kekuasaannya sampai ke daerah Pagarruyung (Minangkabau). Dan mengangkat dirinya sebagai Maharajadhiraja (1347 M), meskipun terhadap Rajapatni ia masih tetap mengaku dirinya sang mantra yang terkemuka dan masih sedarah dengan raja puteri itu. Dalam tahun 1350 Rajapatni wafat. Maka Ribhuwanottunggadewi turun pula dari takhta kerajaan, untuk menyerahkannya kepada anaknya, yaitu Hayam Wuruk, yang dilahirkan dalam tahun 1334 M dari perkawinannya dengan Kertawarddhana. Rajasanagara, 1350 M - 1389 M Hayam Wuruk memerintah dengan gelar yang sudah ia peroleh sebelum menaiki takhta Majapahit, yaitu Rajasanagara. Dengan Gajah Mada sebagai patihnya, Majapahit mengalami jaman keemasannya. Sumpah Gajah Mada dapat terlaksana, dan seluruh kepulauan Indonesia bahkan juga jazirah Malaka mengibarkan panji-panji Majapahit, sedangkan hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga berlangsung dengan baik. Pelaksanaan sumpah Gajah Mada itu meminta banyak korban. Dalam pemerintahan Hayam Wuruk, tinggal Sunda saja yang belum tunduk kepada panji-panji Majapahit. Di sini yang memrintah adalah Sri Baduga Maharaja, yang menurut prasasti Batutulis (Bogor) dari tahun 1333 M adalah Raja Pakwan Pajajaran, anak dari Rahyang Dewaniskala dan cucu Rahyang Niskalawastu Kancana. Sudah dua kali Sunda diserang Majapahit, tetapi tidak pula dapat ditaklukkan. Akhirnya, dalam tahun 1357 M, dengan jalan tipu muslihat, Sri Baduga Maharaja beserta para pembesar Sunda dapat didatangkan di Majapahit dan dibinasakan secara kejam di lapangan Bubat. Kecuali sebagai negarawan, Gajah Mada terkenal pula sebagai ahli hukum. Kitab hukum yang ia susun dan yang selalu dipakai sebagai dasar hukum di Majapahit adalah Kutaramanawa. Kitab ini disusun berdasarkan atas kitab hukum yang lebih tua lagi, yaitu Kutarasastra dan kitab hukum Hindu Manawasastra, dan disesuaikan dengan hukum adat yang sudah berlaku pada jaman itu. Gajah Mada meninggal dalam tahun 1364. timbullah kini kesulitan siapa yang dapat menggantikannya untuk mengendalikan pemerintahan Negara kesatuan itu. Hayam Wuruk dan para bangsawan serta pembesar berapat, dan kesimpulannya ialah bahwa Gajah Mada tidak dapat digantikan. Apa yang dulu dipegang olehnya sekarang diserahkan kepada empat orang menteri. Pemerintahan yang baru ini terutama berusaha untuk mengekalkan keutuhan Negara. Maka tindakan-tindakannya lebih-lebih ditujukan kepada kemakmuran rakyat dan keamanan daerah-daerah. Demikianlah maka tempat-tempat penyeberangan melintasi sungai-sungai Solo dan Brantas dipelihara baik-baik, sedangkan bendungan di Kali Konto (sebelah timur Kadiri) diperbaiki. Candi untuk Tribhuwanttunggadewi di Panggih diperindah. Pun diadakan perbaikan serta perluasan pada tempat suci palah (Panataran), seperti tambahan sebuah Candi Perwara dalam tahun 1369 dan sebuah batur pendopo untuk sajian-sajian dalam tahun 1375. Candi Jabung dekat Kraksaan yang telah didirikan dalam tahun 1354 M kini disempurnakan, sedangkan di sekitar tahun 1365 M diselesaikan dua buah candi dekat Kadiri, yaitu candi Surawana dan Candi Tigawangi. Dalam tahun 1371 M berdirilah Candi Pari (di dekat Porong), yang mempunyai keganjilan bahwa bangunan ini banyak menunjukkan corak dari Campa. Pun dalam lapangan kesusasteraan jaman Hayam Wuruk ini sangat maju. Kitab Nagarakertagama, yang merupakan kitab sejarah tentang Singasari dan Majapahit sampai dewasa itu, dihimpun dalam tahun 1365 oleh Prapanca. Kertayasa dan Brahmaraja adalah pengarang-pengarang besar pula, tetapi ciptaannya tidak kita ketahui. Tantular adalah pujangga yang mengubah cerita-cerita Arjunawijaya dan Sutasoma. Dalam lapangan keamanan diadakan tindakan-tindakan yang tegas. Demikianlah waktu bagian Barat Kalimantan dalam tahun 1368 M dikacau oleh bajak-bajak dari Sulu (Pilipina) yang dibantu oleh Tiongkok, segera armada Majapahit muncul di lautan Tiongkok Selatan, dan daerah itu terhindar dari pengacauan lebih lanjut. Dalam tahun 1370 tiga orang raja di Sumatra dibujuk oleh Tiongkok supaya melepaskan diri dari Majapahit, dan mengirimkan utusan-utusannya sendiri ke Tiongkok. Ketika bujukan ini ternyata ada juga hasilnya. Majapahit mengirimkan lagi armadanya, dan dalam tahun 1377 M raja-raja tadi itu dibinasakan sama sekali. Dengan tindakan ini maka habislah pula riwayat Sriwijaya. Hayam Wuruk wafat tahun 1389 M, dan mungkin sekali dimuliakan di Tayung (daerah Berbek, Kediri). Wikramawardhana, 1389 M - 1429 M Putera mahkota Majapahit yang lahir dari permaisuri Hayam Wuruk adalah seorang perempuan, bernama Kusumawarddhani. Puteri ini kawin dengan saudara sepupunya, Wikramawardhana, dan suami Kusumawardhani itulah yang menggantikan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit. Hayam Wuruk mempunyai juga anak laki-laki, yaitu Bhre Wirabhumi, tetapi bukan dari permaisuri. Bhre Wirabbhumi ini diberi bagian ujung Jawa Timur untuk daerah pemerintahannya. Dengan demikian maka sesudah Hayam Wuruk wafat, Majapahit itu pada hakekatnya sudah terbagi secara resmi. Hubungan baik antara Wikramawardhana dan Wirabhumi dalam tahun 1401 M berbalik menjadi peperangan , terkenal dengan nama paregreg, yang baru berakhir dalam tahun 1406 dengan dibunuhnya Wirabhumi. Perang saudara ini rupanya sangat melemahkan Majapahit. Hal ini diketahui pula oleh Tiongkok, yang segera berusaha memikat daerah-daerah luar Jawa untuk mengakui kedaulatannya. Kalimantan Barat, yang dalam tahun 1368 telah diganggu oleh bajak-bajak dari Sulu sebagai alat dari Kaisar Tiongkok, sejak tahun 1405 sama sekali tunduk kepada Tiongkok tanpa sesuatu tindakan dari Majapahit. Dalam tahun itu juga, Palembang dan Malayu mengarahkan pandangannya ke Tiongkok pula dengan tidak menghiraukan Majapahit. Dengan timbulnya Malaka sebagai pelabuhan dan kota dagang penting yang beragama Islam ( 1400 M) di samping Samudra, maka jazirah Malaka pun bagi Majapahit boleh dikata sudah hilang. Demikian pula daerah-daerah lainnya satu persatu melepaskan diri dari ikatannya dengan Majapahit. Berbagai daerah masih mengaku Majapahit sebagai atasannya, tetapi dalam prakteknya tidak banyak juga hubungannya dengan pusat. Waktu Wikramawardhana meninggal dalam tahun 1429 M, kerajaan Majapahit yang besar dan bersatu sudah tidak ada lagi.
Majapahit sekitar tahun 1400
Majapahit sesudah Hayam Wuruk diliputi oleh kegelapan dan banyak keraguan. Bahan-bahan tidak mencukupi untuk mengetahui sesuatunya dengan jelas. Apalagi mengenai kerajaan serta masyarakatnya, pun dari jaman yang banyak meninggalkan prasasti dan bahan sejarah lainnya, tidak banyak yang dapat diketahui. Dalam hal ini maka berita-berita asing sering kali memberi bantuan yang sangat berharga. Kita sudah ketahui, bahwa banyak hal yang tidak kita kenal dari sumber-sumber resmi, justru kita jumpai dalam berita-berita Tionghoa. Demikian pula dengan keadaan Majapahit jaman Wikramawardhana. Dalam tahun 1405 M Singhawikramawardhana Cheng Ho sebagai utusan Kaisar Tiongkok datang di Jawa, di mana ada dua orang raja: raja bagian Barat dan raja bagian Timur. Tahun berikutnya timbul peperangan antara kedua raja itu. Kebetulan utusan Tiongkok sedang ada di kerajaan Timur. Waktu tentara kerajaan Barat merebut ibukota kerajaan Timur, 170 orang dari perutusan Tiongkok ikut terbunuh. Segera raja bagian Barat menyampaikan penyesalannya ke Tiongkok, dan kaisar Tiongkok menuntut denda berupa emas sebanyak 60.000 tail. Dalam tahun 1408 seperenam dari denda itu telah dilunasi, dan kemudian raja bagian Barat itu dibebaskan dari pembayaran lebih lanjut. Dari berita ini jelaslah bahwa yang dimaksud dengan raja bagian Barat (bernama Tu-ma-pan = Tumapel) adalah Wikramawardhana dan raja bagian Timur (bernama P'uling-Ta-Ha = Bhreng Daha) adalah Wirabhumi. Tentang Sriwijaya di sekitar tahun 1400 berita-berita Tionghoa menyatakan, bahwa yang berkuasa di sana adalah bajak Tionghoa, di bawah pimpinan Leang Tao Min, sedangkan Palembang dikepalai oleh Ch'en Tsu-Yi, seorang bajak laut pula. Keadaan demikian menunjukkan, bahwa di sana dibiarkan saja, sengaja supaya tidak dapat timbul kekuasaan baru. Akibatnya ialah bahwa bajak-bajak Tionghoa leluasa melakukan peranannya dan menyusun semacam pemerintahan. Namun mereka mengakui kedaulatan Majapahit. Berita Tionghoa lagi, yang sangat penting, adalah uraian Ma-Huan dalam bukunya Ying-Yai Sheng-Lan.Ma-Huan adalah orang Tionghoa beragama Islam, yang mengiringi Cheng Ho dalam perjalanannya yang ketiga (1413 M - 1415 M) ke daerah-daerah lautan selatan. Kecuali soal-soal yang mengenai keadaan berbagai daerah yang berhubungan dengan kedudukan politiknya, yang sangat menarik perhatian adalah uraian Ma Huan tentang keadaan kota Majapahit serta rakyatnya. Kalau orang pergi ke Jawa katanya kapal-kapal terlebih dahulu sampai ke Tuban. Kemudian dengan melalui Gresik yang banyak penduduk Tionghoanya, orang tiba di Surabaya. Di sini orang pindah ke perahu-perahu kecil, berlayar ke Canggu. Melalui jalan darat orang kemudian pergi ke arah Selatan, dan tibalah orang di Majapahit, tempat kediaman sang raja. Kotanya dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata, dan penduduknya berjumlah kira-kira 300.000 keluarga. Sang raja kepalanya terbuka, atau tertutup dengan mahkota dari mas, memakai kain dan selendang, tidak berterompah dan selalu membawa satu atau dua bilah keris. Kalau keluar ia naik gajah atau kereta yang ditarik oleh lembu. Rakyatnyapun memakai kain dan baju, dan tiap orang laki-laki mulai anak berumur 3 tahun memakai keris, yang hulunya indah sekali, terbuat dari emas, cula badak atau gading. Kalau mereka bertengkar, sekejap saja mereka sudah siap dengan kerisnya. Mereka biasa memakan sirih, senang mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu pada perayaan-perayaan, suka bermain bersama waktu terang bulan dengan disertai nyanyian-nyanyian berkelompok dan bergiliran antara golongan wanita dan pria, gemar pula menonton wayang beber(wayang yang adegan-adegan ceritanya digambar diatas sehelai kain, kemudian dibentangkan antara dua bilah kayu, dan diuraikan isi ceritanya oleh dalang). Penduduk Majapahit terdiri atas tiga golongan: orang-orang Islam, yang datang dari Barat dan mendapatkan mata pencaharian di ibokota, orang-orang Tionghoa yang banyak pula memeluk agama Islam, dan rakyat selebihnya yang menyembah berhala dan tinggal bersama dengan anjing mereka. Peradaban pada masa itu menunjukkan betapa hubungan kerajaan Majapahit sudah mengarah ke masyarakat kosmopolis, Majapahit sebagai sebuah pusat kekuasaan politik sebuah ibu kota kerajaan besar yang erat kaitannya dengan pergaulan antar bangsa. Vlekke menyebutkan bahwa, pada masa kejayaan patih Gajah Mada, pusat pemerintahan Majapahit menjadi sebuah kota besar (city). Para pejabat utama kerjaan memiliki ribuan pengikut dan berbagai binatang peliharaan seperti Gajah, kuda, sapi, dan hewan-hewan aneh yang memerlukan pemeliharaan khusus . Terlepas dari peranannya dalam bergaul internasional yang memang meliputi wilayah dari Irian sampai ke Malagasi, keberadaan kota besar Majapahit tentu didukung oleh adanya sarana transportasi yang memadai. Dalam hal ini terdapat dua jalur transportasi yaitu jalan darat dan jalan sungai. Jalan darat tampaknya merupakan jalur transportasi tradisional anatara pusat-pusat kekuasaan dalam lingkup pengaruh Majapahit. Sementara jalan sungai merupakan saluran komunikasi dengan pusat produksi di pedalaman dan sekaligus menjadi sarana transportasi perdagangan internasional. Diantara jalan poros utama lewat darat adalah yang menghubungkan Japan dengan Singosari melalui lereng gunung Penanggungan (Pasuruan) dan yang menghubungkan Kota Kediri, Surabaya serta ke Tuban . Ketiga poros jalan tersebut bertemu di kota Majapahit yang menjadi pusat kegiatan ekonomi dan politik yang makmur yaitu Kota Japan (Japanan, Gempol). Alur sungai Kediri (Brantas) memberikan perannya yang besar bukan saja untuk kepentingan hubungan ekonomi ke daerah pedalaman, jalur tersebut juga amat penting untuk ekspedisi militer sebagaimana terbukti pada penyerbuan tentara tartar atas kota Kediri. Dalam hal ini pelabuhan Canggu di dekat delta Brantas dapat menjadi titik temu antara barang-barang eksport. Kota Japan yang bersebelahan dengan pelabuhan Cangggu dapat berperan sebagai pusat kegiatan ekonomi kerajaan, dan juga dapat menjadi bnteng pertahanan awal terhadap kemungkinan serangan musuh pada pusat administrasi pemerintahan. Palte meyebutkan bahwa Majapahit merupakan pusat kekuasaan yang kekuatannya didukung oleh struktur perekonomian dualistik, yaitu daerah pedalaman penghasil beras dan perannya dalam perdagangan laut . Dengan posisi yang strategis, Majapahit mampu mengembangkan hubungan ekonomi, politik dan militer dengan baik ke daerah pedalaman dan ke daerah seberang laut. Hubungan berkembang secara beragam, karena suatu ketika hubungan tersebut menampakkan diri sebagai sosok kekuasaan yang menghadirkan daya paksi dan kadang tampak sebagai sosok persahabatan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Perang Bubat misalnya, menunjukkan kekaburan antara sosok kekuasaan dengan sosok persahabatan. Hubungan dengan pusat kekuasaan di pedalaman dikembangkan dengan baik, terutama pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Dikembangkan suatu model perkawinan politik dan silaturahim untuk tetap memelihara hubungan baik antar pusat kekuasaan yang ada, sementara hubungan luar negeri (sebrang) disemangati oleh persaingan kekuatan yang dekat sebagaimana tercermin dalam sumpah “palapa”. Hubungan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah diatur secara berjenjang, yaitu daerah yang diperintah oleh raja-raja yang memiliki tali kekerabatan dengan raja Majapahit, dan daerah yang diperintah oleh seorang menteri amancanegara. Daerah-daerah seperti Kahuripan, Daha, Wengker, Lasem, Pasuruhan, Matahun, Pajang, Pawanuhan dan Wirabumi diperintah oleh raja-raja bawahan yang memiliki tali kekerabatan dengan raja wilayah pendukung utama kekuatan pusat pemerintahan Majapahit . Dalam kasus Mataram wilayah demikian disebut Negara agung. Bagian selebihnya tidak diperintah oleh para raja, melainkan oleh pejabat negara. Daerah amancanegara dibagi menjadi lima kawasan sesuai dengan arah mata angin yakni utara, selatan, timur, barat, dan tengah yang masing-masing diperintah oleh seorang menteri dan memperoleh gelar temanggung atau adipati . Pola pemerintahan di lingkungan raja-raja bawahan mengambil pola kekuasan pusat dengan daerah dan struktur organisasi pemerintahan yang sama memungkinkan terjadinya persaingan diam-diam diantara raja bawahan dan bahkan juga dengan pemerintahan pusat. Vlekke berpendapat bahwa pergeseran pusat politik dari Singasari menuju Majapahit menunjukkan adanya sejumlah daerah kebangsawanan kecil yang bersaing secara permanent sebagaimana terjadi di antara para bangsawan feudal di Jerman . Pentingnya hubungan raja-raja bawahan dengan pemerintah pusat, tercermin pada adanya tempat kediaman raja yang bersangkutan dilingkungan istana Majapahit. Bahkan dalam rangka pengendalian kekuasan, raja-raja bawahan lebih banyak diberi kesempatan tinggal di ibukota kerajaan, dan pelaksanaan pemerintahan di daerahnya diserahkan sepenuhnya kepada patih yang merupakan puncak struktur birokrasi di daerahnya masing-masing. Untuk menjamin kelancaran hubungan pusat dengan daerah dibangun jalan raya yang berfungsi sebagai jalur perdagangan. Bukti pengakuan sebagai bawahan dan kesetiaan kepada Majapahit dapat hanya dibuktikan dengan persembahan upeti. Persembahan tersebut berapapun besarnya tidak menjadi masalah. Sebagai contoh daerah Pun-ni (Brunei) hanya mempersembahkan upeti tahunan berupa kapur barus sebanyak empat puluh kati kepada raja Majapahit . Kebijakan politik luar negeri Majapahit, tampaknya mengacu pada hubungan pusat kekuasaan, besarnya wilayah negara bawahan tidak menjadi ukuran besarnya upeti, sehinggga keberadaan upeti tersebut terasa lebih bersifat simbolik. Sebagai simbul suatu pengakuan terhadap hegemoni kekuasan Majapahit , dan hanya dalam situasi politik yang sangat istimewa saja berbagai kewajiban daerah bawahan ditekankan secara rinci. Dalam situasi seperti inilah Majapahit mengembangkan kekuasaan ke seluruh Nusantara dan bagian terbesar semenanjung Malaya. Disamping hubungan politik yang bersifat ekspansif Majapahit juga mengembangkan kota dagang. Tercatat pada Berita Cina, bahwa Majapahit terdapat komoditas pedagang Islam yang berasal dari negeri barat, Cina dan Pribumi. Mereka memperdagangkan: sapamoods diamonds, write sandalwood, metmeg, long paper, steel dan tortolseshell prepared and unprepared . Semua mata dagangan tersebut pada umumnya menjadi bukti perananya sebagai “rendezvous” perdagangan nusantara. Sebagaimana pada umumnya kota dagang, masyarakat Majapahit yang bertempat tinggal di pusat-pusat perdagangan akan menunjukkan ciri-cirinya sebagai komunitas masyarakat pedagang. Dibagian lain tampak adanya komunitas masyarakat petani karena Majapahit memang mengembangkan secara bersama kegiatan ekonomi pertanian dan perdagangan. Kemakmuran masyarakat tercermin pada adanya penghargaan yang tinggi terhadap bangunan-bangunan keagamaan. Adanya perhatian khusus terhadap berbagai aliran agama sebagaimana tertera pada Negarakertagama LI; 5 yang menyebut: “sang tripaksa rsi ciwa budha” bukan saja menjadi bukti penghargaan yang tinggi terhadap keberadaan agama, tetapi juga kepada hak asasi manusia dan kebebasan untuk mengembangkan pikiran dan kreatifitas. Bila kita perhatikan pada relief candi-candi asal jaman kerajaan Majapahit diperoleh kesan utama dua hal, yakni keberadaan kehidupan beragama yang bersifat asketis dan sarana transportasi yang berkaitan dengan persiapan prajurit perang. Terkesan adanya kesinambungan penampilan unsur pendalaman dari segi-segi keagamaan dengan kebutuhan untuk peperangan. Dalam hal ini dapat mengesankan adanya pembinaan keagamaan yang kuat dan keharusan untuk tetap saja siap melakukan perang. Lambang keseimbangan antara kebutuhan rohaniah dengan jasmaniah atau kehidupan Illahiyah dengan duniawiyah. Dengan memperhatikan kekhasan Majapahit sebagai kota dagang dan karya seni pahat dan bangunan suci pada jaman hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Majapahit dapat dikelompokkan menjadi empat golongan. Golongan pertama adalah masayarakat dagang yang tinggal di daerah pusat perdagangan, terutama di daerah Bangil, Japan dan Canggu. Golongan Kedua adalah masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Golongan masyarakat tersebut pada umumnya tinggal di pedesaan atau pedalaman. Golongan ketiga adalah para prajurit kerajaan dan keluarganya. Mereka pada umumnya tinggal di sekitar istana dan mendiami perkampungan sesuai dengan jenis kesatuannya. Prajurit ini disamping untuk memenuhi kebutuhan aspek keagaamaan sekaligus juga membentuk komunitas ekonomi yang melekat pada pasang surutnya kekuatan suatu pusat kekuasaan. Golongan Keempat adalah para pejabat istana yang pada umumnya juga keluarga dinasti yang berkuasa, merupakan golongan tersendiri. Keberadaannya identik dengan kebutuhan akan tuntutan pelayanan. Pejabat istana seringkali memiliki ribuan pengikut dan memiliki berbagai jenis binatang piaraan . Dengan demikian tempat kediaman para pejabat istana seingkali berbentuk komunitas tersendiri dengan nama sesuai dengan nama pejabat yang bersangkuta. Nama karangggan atau kranggan identik dengan gelar Rangga sebuah jabatan setingkat wedana dalam fungsi sebagai komandan keprajuritan. Para pejabat kerajaan pada umumnya tinggal disekitar istana atau kraton. Disamping keempat golongan masyarakat tersebut terdapat rokhaniawan. Para penganjur agama ini umumnya bukanlah sekelompok eksklusif, melainkan berada pada setiap lapisan atau golongan masyarakat. Dari golongan masyarakat yang ada pada umumnya golongan pedagang dan pejabat istana berfungsi sebagai agen pembangunan. Adaptasi terhadap perubahan budaya amat cepat, karena kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya dalam pergaulan masyarakat yang terus berkembang. Golongan agama berfungsi sebagai benteng penjaga tradisi dan pada umumnya lebih dekat dengan kehidupan, masyarakat pertanian, posisinya dalam masyarakat memungkinkan dirinya lebih mampu menghadapi goncangan perubahan peradaban. Disamping pengelompokkan masyarakat yang didasarkan kepada jenis profesinya juga terdapat pengelompokkan yang didasarkan pada status kelahiran. Dua kelompok besar pada jaman Majapahit adalah anggota masyarakat yang masuk golongan catur warna dan golongan lain yang dinilai lebih rendah dan secara umum disebut Dasyu . Masing-masing golongan masyarakat tersebut memiliki kekhasan pekerjaan dan cara hidup masing-masing. Dalam susunan ketatanegaraan Majapahit dalam abad ke XIV terdapat adanya suatu lembaga yang melaksanakan kepentingan keagaman yang disebut “kedermajaksaan”. Kalangan agama di Majapahit waktu itu terbagi atas tiga aliran yang dalam Negarakertagama pupuh LI/5 disebut, sang tripaksa rsi caiwa Jawa 'istilah' dalam kamus Jawa Kuno Indonesia susunan Mardiwarsito berarti tiga mazhab agama . Tampaknya Raden Wijaya sebagai perintis terwujudnya negara Majapahit, ketika membuka lahan aperkampuangan di sungai Brantas dan sungai Brangkal, sudah mempunyai gagasan untuk menghimpun para Biksu dan Resi memeluk agama Siwa-Budha sebagai tulang punggung kekuatan moril dalam perjuangan melawan Jayakatwang (kemudian juga melawan pasukan Tar-Tar) Hal tersebut didukung oleh hal-hal berikut:
a. Sebagai menantu Sri Kartanegara raja Singasari, yang penghayat dan penganjur sinkretisme agama Siwa dan Budha dengan sepenuh hati (met hart en ziel) sehingga mendapat julukan kehormatan Sang Shiwa dan Budha. b. Inspirasi dari keberhasilan Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi (Ken Arok) raja Tumapel ketika menndukkan Kertajaya raja Kediri memperoleh bantuan kekuatan moril pendeta Shiwa dan Budha. Jadi dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa Raden Wijaya sejak awal perjuangannya melawan Jayakatwang juga menghimpun para pendeta Budha dan Shiwa sebagai dukungan kekuatan moril dan menempatkan mereka di Japan yang tercermin pada keberadaan bekas-bekas asrama pemukiman dan candi-candi yang ditemukan pada jaman pemerintahan Hayam Wuruk. Dari berbagai golongan masyarakat tersebut beberapa diantaranya dilukiskan dalam kitab Ying-yai Sheng-lan. Dikota Majapahit dipasarkan antara lain burung nori sebesar ayam hutan, beo yang berwarna-warni dan mampu meniru ucapan manusia . Juga dijual burung kakatua, burung dara dengan aneka warna, merak dan lain-lain. Diantara binatang kesayangan adalah white slag ( kera putih), celeng (babi), kambing, lembu, kuda, ayam hutan, dan bebek. Dalam kehidupan sehari-hari, laki-perempuan mengunyah kinang yang merupakan sajian istimewa (berupa perpaduan daun sirih dan bumbu khas) bila bertemu dan daerah inilah yang disebut Pasuruhan13. Mereka makan nasi pada mangkok besar dan menyuap dengan jari. Perayaan pengantian dilakukan tiga hari setelah pernikahan dirumah pihak mempelai wanita, pada saat diboyong ke rumah pihak laki-laki. Perayaan dirumah laki-laki dimeriahkan dengan kesenian gamelan dan kembang api atau mercon . Para kerabat dan handai taulan mengucapkan selamat dengan menyampaikan karangan bunga dan dedaunan yang berhias perahu kecil. Hubungan antar golongan masyarakat Majapahit juga dibedakan berdasarkan kedekatannya dengan raja . golongan keluarga raja disebut sama sanak dan parawangsa . juga hubungan keturunan atau karena hubungan perkawinan. Mereka dapat disamakan dengan pengertian Santana dalam untuk dinasti raja-raja Jawa Tengah. Golongan ketiga adalah Wong Lembah yang merupakan rakyat kebanyakan, termasuk didalamnya adalah para bangsawan daerah, Anden dan Akuwu. Jelas bahwa hubungan diantara mereka berjalan sesuai hukum adat yang berlaku atau Kutara Manawa. Dengan memperhatikan ragam pengelompokkan masyarkat tersebut terkesan bahwa ketentuan yang tetap terhadap asas Caturwarna dan Dasyu tidak berlaku lagi bagi masyarakat Majapahit. Keseimbangan kebijakan asas ekonomi dualistik, yaitu ekonomi pertanian dan ekonomi perdagangan menyebabkan masyarakat Majapahit lebih terbuka hubungan komunikasi sosialnya satu sama lain. Yang tampak kemudian adalah hubungan fungsional masyarakat dalam rangka memenuhi kesejahteraan bersama, sehingga pengelompokkan berdasarkan perbedaan fungsi lebih menonjol. Negarakertagama menyebutkan tiga golongan masyarakat yakni: uttamaka (keluarga raja), nista atau kanakthanya (petani) dan nahdyama (para pejabat negara, pedagang, tukang dan sejenisnya) . Masyarakat Majapahit adalah tipe masyarakat majemuk sebagai konsekuensi hubungan terbuka dengan dunia luar. Dengan demikian hubungan antara status sosial amat longgar dan masing-masing lebih terbuka terhadap perubahan. Suatu masyarakat yang lebih siap untuk mengantisipasi perubahan menuju masa depan. Masa akhir Majapahit, 1429 M - 1522 M
Masa seratus tahun yang terakhir dari kerajaan Majapahit tidak banyak yang dapat diketahui. Sumber-sumber sejarahnya sangat sedikit, dan keterangan-keterangan dari Pararaton tidak sempurna.Yang nyata ialah, bahwa sejak Wikramawardhana bintang Majapahit sudah mulai suram dan makin lama makin pudar. Perang saudara antara para keluarga raja, hilangnya kekuasaan pusat di luar daerah sekitar ibukota Majapahit, dan giatnya penyebaran agama Islam yang sejak 1400 M berpusat di Malaka dan yang disertai dengan timbulnya kerajaan-kerajaan Islam yang menentang kedaulatan Majapahit, adalah peristiwa-peristiwa yang menandai masa runtuhnya kerajaan yang tadinya mempersatukan seluruh Nusantara.Pengganti Wikramawardhana di atas takhta kerajaan Majapahit adalah anak perempuannya, yang bernama Suhita, dan yang memerintah dari 1429 M - 1477 M . mungkin sekali Suhita ini dijadikan raja, terutama supaya jangantimbul lagi perang saudara. Soalnya ialah, bahwa meskipun Wirabhumi telah gagal menentang Wikramawardhana, banyak pula anggota keluarga raja dan para terkemuka yang masih berdiri di fihaknya. Dan ibu Suhita adalah anak dari Wirabhumi itulah.Dalam lapangan kebudayaan, masa pemerintahan Suhita itu ditandai oleh berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia. Berbagai tempat pemujaan didirikan di lereng-lereng gunung, dan bangunan-bangunan itu disusun sebagai punden berundak-undak (berpuluh-puluh di lereng-lereng gunung Penanggungan, Candi Sukuh dan Ceta di lerang gunung Lawu, dsb). Kecuali bangunan-bangunan terdapatkan juga batur-batur untuk persajian, tugu-tugu batu seperti menhir, gambar-gambar binatang ajaib yang mempunyai arti sebagai lambang tenaga gaib, dll.Suhita digantikan oleh adik tirinya, Kertawijaya, yang memerintah dari tahun 1447 M sampai tahun 1451. Perjalanan sejarah selanjutnya dan pergantian raja-rajanya sesudah 1451 M itu tidak dapat kita ketahui dengan pasti. Dari Pararaton kita kenal Raja Rajasawardhana sebagai pengganti Kertawijaya, tetapi ia berkeraton di Kahuripan. Ia memerintah dari 1451 M sampai 1453 M . tiga tahun kemudian tidak ada rajanya. Dari 1456 M - 1466 M yang menjadi raja adalah Bhre Wengker dengan nama Hyang Purwawisesa. Dalam tahun 1466 ia digantikan oleh Bhre Pandan Alas, yang sesungguhnya, bernama Suraprabhawa dan mempunyai nama resmi Singhawikramawardhana. Raja ini berkeraton di Tumapel selama dua tahun. Dalam tahun 1468 ia terdesak oleh Kertabhumi, anak bungsu Rajasawardhana, yang kemudian berkuasa di Majapahit dengan gelar. Singhawikramawardhana sendiri memindahkan pusat kekuasaannya ke Daha, di mana ia wafat dalam tahun 1474 M.Di Daha ia digantikan oleh anaknya, Ranawijaya, yang bergelar Bhatara Prabhu Girindrawardhana. Dalam tahun 1478 M raja ini berhasil menundukkan Kertabhumi dan merebut Majapahit. Menurut prasastinya dari tahun 1486 ia kemudian menamakan dirinya Raja Wilwatika Daha Janggala Kadiri. Sampai bila ia memerintah tidak diketahui. Pun bagaimana riwayat Majapahit kemudian masih gelap. Hanya dari berita-berita Portugis dapat dipastikan, bahwa Majapahit dalam tahun 1522 M masih berdiri dan beberapa tahun kemudian kekuasaannya berpindah ke kerajaan Islam di Demak.Sesudah lenyapnya kerajaan Majapahit, masih ada juga kerajaan-kerajaan yang meneruskan corak kehidupannya, yaitu: Pajajaran yang baru lenyap dalam tahun 1579 M karena ditundukkan oleh Sultan Jusuf dari Banten, Blambangan yang baru dalam tahun 1639 M ditundukkan oleh Sultan Agung dari Mataram, dan Bali yang sampai kini masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan lamanya. Pun di pegunungan Tengger, di mana sejak jaman Majapahit masyarakatnya lebih-lebih memuja Brahma, sampai kini masih mempertahankan corak kehidupannya.
Sumber: www.baungcamp.com
Majapahit sekitar tahun 1400
Majapahit sesudah Hayam Wuruk diliputi oleh kegelapan dan banyak keraguan. Bahan-bahan tidak mencukupi untuk mengetahui sesuatunya dengan jelas. Apalagi mengenai kerajaan serta masyarakatnya, pun dari jaman yang banyak meninggalkan prasasti dan bahan sejarah lainnya, tidak banyak yang dapat diketahui. Dalam hal ini maka berita-berita asing sering kali memberi bantuan yang sangat berharga. Kita sudah ketahui, bahwa banyak hal yang tidak kita kenal dari sumber-sumber resmi, justru kita jumpai dalam berita-berita Tionghoa. Demikian pula dengan keadaan Majapahit jaman Wikramawardhana. Dalam tahun 1405 M Singhawikramawardhana Cheng Ho sebagai utusan Kaisar Tiongkok datang di Jawa, di mana ada dua orang raja: raja bagian Barat dan raja bagian Timur. Tahun berikutnya timbul peperangan antara kedua raja itu. Kebetulan utusan Tiongkok sedang ada di kerajaan Timur. Waktu tentara kerajaan Barat merebut ibukota kerajaan Timur, 170 orang dari perutusan Tiongkok ikut terbunuh. Segera raja bagian Barat menyampaikan penyesalannya ke Tiongkok, dan kaisar Tiongkok menuntut denda berupa emas sebanyak 60.000 tail. Dalam tahun 1408 seperenam dari denda itu telah dilunasi, dan kemudian raja bagian Barat itu dibebaskan dari pembayaran lebih lanjut. Dari berita ini jelaslah bahwa yang dimaksud dengan raja bagian Barat (bernama Tu-ma-pan = Tumapel) adalah Wikramawardhana dan raja bagian Timur (bernama P'uling-Ta-Ha = Bhreng Daha) adalah Wirabhumi. Tentang Sriwijaya di sekitar tahun 1400 berita-berita Tionghoa menyatakan, bahwa yang berkuasa di sana adalah bajak Tionghoa, di bawah pimpinan Leang Tao Min, sedangkan Palembang dikepalai oleh Ch'en Tsu-Yi, seorang bajak laut pula. Keadaan demikian menunjukkan, bahwa di sana dibiarkan saja, sengaja supaya tidak dapat timbul kekuasaan baru. Akibatnya ialah bahwa bajak-bajak Tionghoa leluasa melakukan peranannya dan menyusun semacam pemerintahan. Namun mereka mengakui kedaulatan Majapahit. Berita Tionghoa lagi, yang sangat penting, adalah uraian Ma-Huan dalam bukunya Ying-Yai Sheng-Lan.Ma-Huan adalah orang Tionghoa beragama Islam, yang mengiringi Cheng Ho dalam perjalanannya yang ketiga (1413 M - 1415 M) ke daerah-daerah lautan selatan. Kecuali soal-soal yang mengenai keadaan berbagai daerah yang berhubungan dengan kedudukan politiknya, yang sangat menarik perhatian adalah uraian Ma Huan tentang keadaan kota Majapahit serta rakyatnya. Kalau orang pergi ke Jawa katanya kapal-kapal terlebih dahulu sampai ke Tuban. Kemudian dengan melalui Gresik yang banyak penduduk Tionghoanya, orang tiba di Surabaya. Di sini orang pindah ke perahu-perahu kecil, berlayar ke Canggu. Melalui jalan darat orang kemudian pergi ke arah Selatan, dan tibalah orang di Majapahit, tempat kediaman sang raja. Kotanya dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata, dan penduduknya berjumlah kira-kira 300.000 keluarga. Sang raja kepalanya terbuka, atau tertutup dengan mahkota dari mas, memakai kain dan selendang, tidak berterompah dan selalu membawa satu atau dua bilah keris. Kalau keluar ia naik gajah atau kereta yang ditarik oleh lembu. Rakyatnyapun memakai kain dan baju, dan tiap orang laki-laki mulai anak berumur 3 tahun memakai keris, yang hulunya indah sekali, terbuat dari emas, cula badak atau gading. Kalau mereka bertengkar, sekejap saja mereka sudah siap dengan kerisnya. Mereka biasa memakan sirih, senang mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu pada perayaan-perayaan, suka bermain bersama waktu terang bulan dengan disertai nyanyian-nyanyian berkelompok dan bergiliran antara golongan wanita dan pria, gemar pula menonton wayang beber(wayang yang adegan-adegan ceritanya digambar diatas sehelai kain, kemudian dibentangkan antara dua bilah kayu, dan diuraikan isi ceritanya oleh dalang). Penduduk Majapahit terdiri atas tiga golongan: orang-orang Islam, yang datang dari Barat dan mendapatkan mata pencaharian di ibokota, orang-orang Tionghoa yang banyak pula memeluk agama Islam, dan rakyat selebihnya yang menyembah berhala dan tinggal bersama dengan anjing mereka. Peradaban pada masa itu menunjukkan betapa hubungan kerajaan Majapahit sudah mengarah ke masyarakat kosmopolis, Majapahit sebagai sebuah pusat kekuasaan politik sebuah ibu kota kerajaan besar yang erat kaitannya dengan pergaulan antar bangsa. Vlekke menyebutkan bahwa, pada masa kejayaan patih Gajah Mada, pusat pemerintahan Majapahit menjadi sebuah kota besar (city). Para pejabat utama kerjaan memiliki ribuan pengikut dan berbagai binatang peliharaan seperti Gajah, kuda, sapi, dan hewan-hewan aneh yang memerlukan pemeliharaan khusus . Terlepas dari peranannya dalam bergaul internasional yang memang meliputi wilayah dari Irian sampai ke Malagasi, keberadaan kota besar Majapahit tentu didukung oleh adanya sarana transportasi yang memadai. Dalam hal ini terdapat dua jalur transportasi yaitu jalan darat dan jalan sungai. Jalan darat tampaknya merupakan jalur transportasi tradisional anatara pusat-pusat kekuasaan dalam lingkup pengaruh Majapahit. Sementara jalan sungai merupakan saluran komunikasi dengan pusat produksi di pedalaman dan sekaligus menjadi sarana transportasi perdagangan internasional. Diantara jalan poros utama lewat darat adalah yang menghubungkan Japan dengan Singosari melalui lereng gunung Penanggungan (Pasuruan) dan yang menghubungkan Kota Kediri, Surabaya serta ke Tuban . Ketiga poros jalan tersebut bertemu di kota Majapahit yang menjadi pusat kegiatan ekonomi dan politik yang makmur yaitu Kota Japan (Japanan, Gempol). Alur sungai Kediri (Brantas) memberikan perannya yang besar bukan saja untuk kepentingan hubungan ekonomi ke daerah pedalaman, jalur tersebut juga amat penting untuk ekspedisi militer sebagaimana terbukti pada penyerbuan tentara tartar atas kota Kediri. Dalam hal ini pelabuhan Canggu di dekat delta Brantas dapat menjadi titik temu antara barang-barang eksport. Kota Japan yang bersebelahan dengan pelabuhan Cangggu dapat berperan sebagai pusat kegiatan ekonomi kerajaan, dan juga dapat menjadi bnteng pertahanan awal terhadap kemungkinan serangan musuh pada pusat administrasi pemerintahan. Palte meyebutkan bahwa Majapahit merupakan pusat kekuasaan yang kekuatannya didukung oleh struktur perekonomian dualistik, yaitu daerah pedalaman penghasil beras dan perannya dalam perdagangan laut . Dengan posisi yang strategis, Majapahit mampu mengembangkan hubungan ekonomi, politik dan militer dengan baik ke daerah pedalaman dan ke daerah seberang laut. Hubungan berkembang secara beragam, karena suatu ketika hubungan tersebut menampakkan diri sebagai sosok kekuasaan yang menghadirkan daya paksi dan kadang tampak sebagai sosok persahabatan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Perang Bubat misalnya, menunjukkan kekaburan antara sosok kekuasaan dengan sosok persahabatan. Hubungan dengan pusat kekuasaan di pedalaman dikembangkan dengan baik, terutama pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Dikembangkan suatu model perkawinan politik dan silaturahim untuk tetap memelihara hubungan baik antar pusat kekuasaan yang ada, sementara hubungan luar negeri (sebrang) disemangati oleh persaingan kekuatan yang dekat sebagaimana tercermin dalam sumpah “palapa”. Hubungan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah diatur secara berjenjang, yaitu daerah yang diperintah oleh raja-raja yang memiliki tali kekerabatan dengan raja Majapahit, dan daerah yang diperintah oleh seorang menteri amancanegara. Daerah-daerah seperti Kahuripan, Daha, Wengker, Lasem, Pasuruhan, Matahun, Pajang, Pawanuhan dan Wirabumi diperintah oleh raja-raja bawahan yang memiliki tali kekerabatan dengan raja wilayah pendukung utama kekuatan pusat pemerintahan Majapahit . Dalam kasus Mataram wilayah demikian disebut Negara agung. Bagian selebihnya tidak diperintah oleh para raja, melainkan oleh pejabat negara. Daerah amancanegara dibagi menjadi lima kawasan sesuai dengan arah mata angin yakni utara, selatan, timur, barat, dan tengah yang masing-masing diperintah oleh seorang menteri dan memperoleh gelar temanggung atau adipati . Pola pemerintahan di lingkungan raja-raja bawahan mengambil pola kekuasan pusat dengan daerah dan struktur organisasi pemerintahan yang sama memungkinkan terjadinya persaingan diam-diam diantara raja bawahan dan bahkan juga dengan pemerintahan pusat. Vlekke berpendapat bahwa pergeseran pusat politik dari Singasari menuju Majapahit menunjukkan adanya sejumlah daerah kebangsawanan kecil yang bersaing secara permanent sebagaimana terjadi di antara para bangsawan feudal di Jerman . Pentingnya hubungan raja-raja bawahan dengan pemerintah pusat, tercermin pada adanya tempat kediaman raja yang bersangkutan dilingkungan istana Majapahit. Bahkan dalam rangka pengendalian kekuasan, raja-raja bawahan lebih banyak diberi kesempatan tinggal di ibukota kerajaan, dan pelaksanaan pemerintahan di daerahnya diserahkan sepenuhnya kepada patih yang merupakan puncak struktur birokrasi di daerahnya masing-masing. Untuk menjamin kelancaran hubungan pusat dengan daerah dibangun jalan raya yang berfungsi sebagai jalur perdagangan. Bukti pengakuan sebagai bawahan dan kesetiaan kepada Majapahit dapat hanya dibuktikan dengan persembahan upeti. Persembahan tersebut berapapun besarnya tidak menjadi masalah. Sebagai contoh daerah Pun-ni (Brunei) hanya mempersembahkan upeti tahunan berupa kapur barus sebanyak empat puluh kati kepada raja Majapahit . Kebijakan politik luar negeri Majapahit, tampaknya mengacu pada hubungan pusat kekuasaan, besarnya wilayah negara bawahan tidak menjadi ukuran besarnya upeti, sehinggga keberadaan upeti tersebut terasa lebih bersifat simbolik. Sebagai simbul suatu pengakuan terhadap hegemoni kekuasan Majapahit , dan hanya dalam situasi politik yang sangat istimewa saja berbagai kewajiban daerah bawahan ditekankan secara rinci. Dalam situasi seperti inilah Majapahit mengembangkan kekuasaan ke seluruh Nusantara dan bagian terbesar semenanjung Malaya. Disamping hubungan politik yang bersifat ekspansif Majapahit juga mengembangkan kota dagang. Tercatat pada Berita Cina, bahwa Majapahit terdapat komoditas pedagang Islam yang berasal dari negeri barat, Cina dan Pribumi. Mereka memperdagangkan: sapamoods diamonds, write sandalwood, metmeg, long paper, steel dan tortolseshell prepared and unprepared . Semua mata dagangan tersebut pada umumnya menjadi bukti perananya sebagai “rendezvous” perdagangan nusantara. Sebagaimana pada umumnya kota dagang, masyarakat Majapahit yang bertempat tinggal di pusat-pusat perdagangan akan menunjukkan ciri-cirinya sebagai komunitas masyarakat pedagang. Dibagian lain tampak adanya komunitas masyarakat petani karena Majapahit memang mengembangkan secara bersama kegiatan ekonomi pertanian dan perdagangan. Kemakmuran masyarakat tercermin pada adanya penghargaan yang tinggi terhadap bangunan-bangunan keagamaan. Adanya perhatian khusus terhadap berbagai aliran agama sebagaimana tertera pada Negarakertagama LI; 5 yang menyebut: “sang tripaksa rsi ciwa budha” bukan saja menjadi bukti penghargaan yang tinggi terhadap keberadaan agama, tetapi juga kepada hak asasi manusia dan kebebasan untuk mengembangkan pikiran dan kreatifitas. Bila kita perhatikan pada relief candi-candi asal jaman kerajaan Majapahit diperoleh kesan utama dua hal, yakni keberadaan kehidupan beragama yang bersifat asketis dan sarana transportasi yang berkaitan dengan persiapan prajurit perang. Terkesan adanya kesinambungan penampilan unsur pendalaman dari segi-segi keagamaan dengan kebutuhan untuk peperangan. Dalam hal ini dapat mengesankan adanya pembinaan keagamaan yang kuat dan keharusan untuk tetap saja siap melakukan perang. Lambang keseimbangan antara kebutuhan rohaniah dengan jasmaniah atau kehidupan Illahiyah dengan duniawiyah. Dengan memperhatikan kekhasan Majapahit sebagai kota dagang dan karya seni pahat dan bangunan suci pada jaman hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Majapahit dapat dikelompokkan menjadi empat golongan. Golongan pertama adalah masayarakat dagang yang tinggal di daerah pusat perdagangan, terutama di daerah Bangil, Japan dan Canggu. Golongan Kedua adalah masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Golongan masyarakat tersebut pada umumnya tinggal di pedesaan atau pedalaman. Golongan ketiga adalah para prajurit kerajaan dan keluarganya. Mereka pada umumnya tinggal di sekitar istana dan mendiami perkampungan sesuai dengan jenis kesatuannya. Prajurit ini disamping untuk memenuhi kebutuhan aspek keagaamaan sekaligus juga membentuk komunitas ekonomi yang melekat pada pasang surutnya kekuatan suatu pusat kekuasaan. Golongan Keempat adalah para pejabat istana yang pada umumnya juga keluarga dinasti yang berkuasa, merupakan golongan tersendiri. Keberadaannya identik dengan kebutuhan akan tuntutan pelayanan. Pejabat istana seringkali memiliki ribuan pengikut dan memiliki berbagai jenis binatang piaraan . Dengan demikian tempat kediaman para pejabat istana seingkali berbentuk komunitas tersendiri dengan nama sesuai dengan nama pejabat yang bersangkuta. Nama karangggan atau kranggan identik dengan gelar Rangga sebuah jabatan setingkat wedana dalam fungsi sebagai komandan keprajuritan. Para pejabat kerajaan pada umumnya tinggal disekitar istana atau kraton. Disamping keempat golongan masyarakat tersebut terdapat rokhaniawan. Para penganjur agama ini umumnya bukanlah sekelompok eksklusif, melainkan berada pada setiap lapisan atau golongan masyarakat. Dari golongan masyarakat yang ada pada umumnya golongan pedagang dan pejabat istana berfungsi sebagai agen pembangunan. Adaptasi terhadap perubahan budaya amat cepat, karena kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya dalam pergaulan masyarakat yang terus berkembang. Golongan agama berfungsi sebagai benteng penjaga tradisi dan pada umumnya lebih dekat dengan kehidupan, masyarakat pertanian, posisinya dalam masyarakat memungkinkan dirinya lebih mampu menghadapi goncangan perubahan peradaban. Disamping pengelompokkan masyarakat yang didasarkan kepada jenis profesinya juga terdapat pengelompokkan yang didasarkan pada status kelahiran. Dua kelompok besar pada jaman Majapahit adalah anggota masyarakat yang masuk golongan catur warna dan golongan lain yang dinilai lebih rendah dan secara umum disebut Dasyu . Masing-masing golongan masyarakat tersebut memiliki kekhasan pekerjaan dan cara hidup masing-masing. Dalam susunan ketatanegaraan Majapahit dalam abad ke XIV terdapat adanya suatu lembaga yang melaksanakan kepentingan keagaman yang disebut “kedermajaksaan”. Kalangan agama di Majapahit waktu itu terbagi atas tiga aliran yang dalam Negarakertagama pupuh LI/5 disebut, sang tripaksa rsi caiwa Jawa 'istilah' dalam kamus Jawa Kuno Indonesia susunan Mardiwarsito berarti tiga mazhab agama . Tampaknya Raden Wijaya sebagai perintis terwujudnya negara Majapahit, ketika membuka lahan aperkampuangan di sungai Brantas dan sungai Brangkal, sudah mempunyai gagasan untuk menghimpun para Biksu dan Resi memeluk agama Siwa-Budha sebagai tulang punggung kekuatan moril dalam perjuangan melawan Jayakatwang (kemudian juga melawan pasukan Tar-Tar) Hal tersebut didukung oleh hal-hal berikut:
a. Sebagai menantu Sri Kartanegara raja Singasari, yang penghayat dan penganjur sinkretisme agama Siwa dan Budha dengan sepenuh hati (met hart en ziel) sehingga mendapat julukan kehormatan Sang Shiwa dan Budha. b. Inspirasi dari keberhasilan Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi (Ken Arok) raja Tumapel ketika menndukkan Kertajaya raja Kediri memperoleh bantuan kekuatan moril pendeta Shiwa dan Budha. Jadi dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa Raden Wijaya sejak awal perjuangannya melawan Jayakatwang juga menghimpun para pendeta Budha dan Shiwa sebagai dukungan kekuatan moril dan menempatkan mereka di Japan yang tercermin pada keberadaan bekas-bekas asrama pemukiman dan candi-candi yang ditemukan pada jaman pemerintahan Hayam Wuruk. Dari berbagai golongan masyarakat tersebut beberapa diantaranya dilukiskan dalam kitab Ying-yai Sheng-lan. Dikota Majapahit dipasarkan antara lain burung nori sebesar ayam hutan, beo yang berwarna-warni dan mampu meniru ucapan manusia . Juga dijual burung kakatua, burung dara dengan aneka warna, merak dan lain-lain. Diantara binatang kesayangan adalah white slag ( kera putih), celeng (babi), kambing, lembu, kuda, ayam hutan, dan bebek. Dalam kehidupan sehari-hari, laki-perempuan mengunyah kinang yang merupakan sajian istimewa (berupa perpaduan daun sirih dan bumbu khas) bila bertemu dan daerah inilah yang disebut Pasuruhan13. Mereka makan nasi pada mangkok besar dan menyuap dengan jari. Perayaan pengantian dilakukan tiga hari setelah pernikahan dirumah pihak mempelai wanita, pada saat diboyong ke rumah pihak laki-laki. Perayaan dirumah laki-laki dimeriahkan dengan kesenian gamelan dan kembang api atau mercon . Para kerabat dan handai taulan mengucapkan selamat dengan menyampaikan karangan bunga dan dedaunan yang berhias perahu kecil. Hubungan antar golongan masyarakat Majapahit juga dibedakan berdasarkan kedekatannya dengan raja . golongan keluarga raja disebut sama sanak dan parawangsa . juga hubungan keturunan atau karena hubungan perkawinan. Mereka dapat disamakan dengan pengertian Santana dalam untuk dinasti raja-raja Jawa Tengah. Golongan ketiga adalah Wong Lembah yang merupakan rakyat kebanyakan, termasuk didalamnya adalah para bangsawan daerah, Anden dan Akuwu. Jelas bahwa hubungan diantara mereka berjalan sesuai hukum adat yang berlaku atau Kutara Manawa. Dengan memperhatikan ragam pengelompokkan masyarkat tersebut terkesan bahwa ketentuan yang tetap terhadap asas Caturwarna dan Dasyu tidak berlaku lagi bagi masyarakat Majapahit. Keseimbangan kebijakan asas ekonomi dualistik, yaitu ekonomi pertanian dan ekonomi perdagangan menyebabkan masyarakat Majapahit lebih terbuka hubungan komunikasi sosialnya satu sama lain. Yang tampak kemudian adalah hubungan fungsional masyarakat dalam rangka memenuhi kesejahteraan bersama, sehingga pengelompokkan berdasarkan perbedaan fungsi lebih menonjol. Negarakertagama menyebutkan tiga golongan masyarakat yakni: uttamaka (keluarga raja), nista atau kanakthanya (petani) dan nahdyama (para pejabat negara, pedagang, tukang dan sejenisnya) . Masyarakat Majapahit adalah tipe masyarakat majemuk sebagai konsekuensi hubungan terbuka dengan dunia luar. Dengan demikian hubungan antara status sosial amat longgar dan masing-masing lebih terbuka terhadap perubahan. Suatu masyarakat yang lebih siap untuk mengantisipasi perubahan menuju masa depan. Masa akhir Majapahit, 1429 M - 1522 M
Masa seratus tahun yang terakhir dari kerajaan Majapahit tidak banyak yang dapat diketahui. Sumber-sumber sejarahnya sangat sedikit, dan keterangan-keterangan dari Pararaton tidak sempurna.Yang nyata ialah, bahwa sejak Wikramawardhana bintang Majapahit sudah mulai suram dan makin lama makin pudar. Perang saudara antara para keluarga raja, hilangnya kekuasaan pusat di luar daerah sekitar ibukota Majapahit, dan giatnya penyebaran agama Islam yang sejak 1400 M berpusat di Malaka dan yang disertai dengan timbulnya kerajaan-kerajaan Islam yang menentang kedaulatan Majapahit, adalah peristiwa-peristiwa yang menandai masa runtuhnya kerajaan yang tadinya mempersatukan seluruh Nusantara.Pengganti Wikramawardhana di atas takhta kerajaan Majapahit adalah anak perempuannya, yang bernama Suhita, dan yang memerintah dari 1429 M - 1477 M . mungkin sekali Suhita ini dijadikan raja, terutama supaya jangantimbul lagi perang saudara. Soalnya ialah, bahwa meskipun Wirabhumi telah gagal menentang Wikramawardhana, banyak pula anggota keluarga raja dan para terkemuka yang masih berdiri di fihaknya. Dan ibu Suhita adalah anak dari Wirabhumi itulah.Dalam lapangan kebudayaan, masa pemerintahan Suhita itu ditandai oleh berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia. Berbagai tempat pemujaan didirikan di lereng-lereng gunung, dan bangunan-bangunan itu disusun sebagai punden berundak-undak (berpuluh-puluh di lereng-lereng gunung Penanggungan, Candi Sukuh dan Ceta di lerang gunung Lawu, dsb). Kecuali bangunan-bangunan terdapatkan juga batur-batur untuk persajian, tugu-tugu batu seperti menhir, gambar-gambar binatang ajaib yang mempunyai arti sebagai lambang tenaga gaib, dll.Suhita digantikan oleh adik tirinya, Kertawijaya, yang memerintah dari tahun 1447 M sampai tahun 1451. Perjalanan sejarah selanjutnya dan pergantian raja-rajanya sesudah 1451 M itu tidak dapat kita ketahui dengan pasti. Dari Pararaton kita kenal Raja Rajasawardhana sebagai pengganti Kertawijaya, tetapi ia berkeraton di Kahuripan. Ia memerintah dari 1451 M sampai 1453 M . tiga tahun kemudian tidak ada rajanya. Dari 1456 M - 1466 M yang menjadi raja adalah Bhre Wengker dengan nama Hyang Purwawisesa. Dalam tahun 1466 ia digantikan oleh Bhre Pandan Alas, yang sesungguhnya, bernama Suraprabhawa dan mempunyai nama resmi Singhawikramawardhana. Raja ini berkeraton di Tumapel selama dua tahun. Dalam tahun 1468 ia terdesak oleh Kertabhumi, anak bungsu Rajasawardhana, yang kemudian berkuasa di Majapahit dengan gelar. Singhawikramawardhana sendiri memindahkan pusat kekuasaannya ke Daha, di mana ia wafat dalam tahun 1474 M.Di Daha ia digantikan oleh anaknya, Ranawijaya, yang bergelar Bhatara Prabhu Girindrawardhana. Dalam tahun 1478 M raja ini berhasil menundukkan Kertabhumi dan merebut Majapahit. Menurut prasastinya dari tahun 1486 ia kemudian menamakan dirinya Raja Wilwatika Daha Janggala Kadiri. Sampai bila ia memerintah tidak diketahui. Pun bagaimana riwayat Majapahit kemudian masih gelap. Hanya dari berita-berita Portugis dapat dipastikan, bahwa Majapahit dalam tahun 1522 M masih berdiri dan beberapa tahun kemudian kekuasaannya berpindah ke kerajaan Islam di Demak.Sesudah lenyapnya kerajaan Majapahit, masih ada juga kerajaan-kerajaan yang meneruskan corak kehidupannya, yaitu: Pajajaran yang baru lenyap dalam tahun 1579 M karena ditundukkan oleh Sultan Jusuf dari Banten, Blambangan yang baru dalam tahun 1639 M ditundukkan oleh Sultan Agung dari Mataram, dan Bali yang sampai kini masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan lamanya. Pun di pegunungan Tengger, di mana sejak jaman Majapahit masyarakatnya lebih-lebih memuja Brahma, sampai kini masih mempertahankan corak kehidupannya.
Sumber: www.baungcamp.com
Post a Comment