Pada 1589 gabungan Adipati Jawa Timur dan pesisir dekat Japan Mojokerto menghentikan gerakan pasukan Senopati Mataram Hadiningrat ke timur, Adipati Pasuruan juga membantu Adipati Surabaya, lawan terpenting penakluk dari Jawa Tengah itu. Ada petunjuk bahwa para pejabat di Surabaya, Kapulungan, dan Pasuruan pada sekitar 1600 berhubungan keluarga.
Pasuruan ditaklukkan oleh Mataram merupakan bukti bahwa Pasuruan merupakan Kadipaten yang amat diperhitungkan menurut HC de Graaf. Mengenai penaklukan Kota Pasuruan, Meinsma Babad, menuturkannya sangat singkat (hlm. 131), sedangkan Babad B. P. (Jil. VIII, hlm. 58-67) menceritakannya panjang lebar. Demikian juga Serat Kandha (hlm. 733-737).
Cerita Babad B. P. adalah sebagai berikut: "Tumenggung Martalaya dikirim oleh Raja untuk menaklukan Pasuruan. Untuk itu, Raja memberi beberapa perintah: para sentana harus berkemah di sebelah selatan kota, tetapi Martalaya sendiri di sebelah tenggara. Mereka yang dari Pajang tidak diperbolehkan berkemah jauh dari kemah Martalaya, sedangkan Alap-alap harus berkedudukan di sebelah utara kota. Selanjutnya mereka hanya diperbolehkan menyerang pada hari Jumat. Kemudian Tumenggung Jaya Suponta, yang dipanggil ke dalam Kemandungan, diberi tugas khusus, yaitu mengamat-amati apakah semua bekeraja sebaik-baiknya. Tentara bergerak dari Solo kearah timur sambil mengadakan perusakan hebat. Tumenggung Kapulungan, yang telah dikenal sejak tahun 1615, menjaga Kota Pasuruan. Mula-mula ia seakan-akan bersikap jantan, akan tetapi kemudian segera kehilangan semangatnya. Pada hari Kamis malam ia menyerukan pasukan-pasukannya untuk menyerang, sebaliknyaia memerintahkan istri-istrinya menyiapkan segala sesuatu untuk mundur. Istri-istrinya naik kuda dan bahan makanan diangkut dan setelah serangan terhadap Mataram dimulai, tiba-tiba Tumenggung Kapulungan membelok kearah barat dan pergi ke Surabaya tanpa menghiraukan caci maki bawahannya. Pasukannya kembali pulang dalam keadaan kacau balau. Esok harinya (Jumat) Mataram menyerang kota, mendudukinya sambil merampas dan membakar. Tumenggung Kapulungan yang dikejar oleh musuh, hampir tidak dapat meloloskan diri. Istri-istrinya jatuh di tangan pasukan Mataram". Serat Kandha (hlm. 735-736) bercerita juga tentang tipu muslihat yang mengakibatkan Tumenggung Kapulungan dapat meloloskan diri dari tangan bawahannya yang sangat sakit hati itu. Dengan teriakan "Pembunuhan! Amok!" ia dapat mengalihkan perhatian pihak Mataram dari dirinya ke prajurit-prajurit Pasuruan yang mengejarnya dan ia lolos. Perjalanan oleh sebagian besar tentara Mataram sampai di depan Pasuruan dimungkinkan setelah kekalahan Jawa Timur di Siwalan. Kita tidak mendengar sedikit pun mengenai usaha sekutu untuk menhalang-halangi pihak Mataram dalam pengepungan Pasuruan. Tumenggung Kapulungan, yang mula-mula berpendirian teguh, mendapat kesempatan masuk Surabaya, karen bagian barat kota tidak terkepung. Dengan rasa syukur ia mempergunakan kesempatan ini, akan tetapi tidak dengan cara yang terhormat. Penaklukan Pasuruan, yang terletak di pinggir laut, dilihat oleh pelaut-pelaut Belanda. Pada tahun 1617 Pangeran Jakarta berada di Banten dan berbicara dengan Coen bahwa daerahnya dalam keadaan genting. "Apa yang akan terjadi dengan daerahnya. Perang ada di ambang pintu. Pasuruan dimenangkan oleh Mataram. Di timur hanya tinggal Surabaya dan Tuban". Demikian bupati Jakarta (Coen, Bescheiden, jil I, hlm. 252). Berita ini memberi kesan bahwa kejadiannya tidak segera dicatat. Tidak cukup jelas apakah penaklukan Pasuruan terajadi pada tahun 1616 atau 1617. Kalau terajadi pada tahun 1617, maka jangka waktu dua bulan untuk gerak maju, pengepungan, dan penaklukan sangat pendek. Yang lebih masuk akal ialah tahun 1616, meskipun Babad Sangkala menyebut 1617 untuk kejadian ini. Lagi pula, dikatakan bahwa sebuah kapal Belanda, yang sekitar September 1616berlabuh di Surabaya, tidak menjumpai raja Surabaya, "karena Sri Baginda ada di medan perang" (Coen, Besheiden, jil. I, hlm. 226). Apakah ia berusaha membantu Pasuruan ataukah, paling tidak, memepertahankan daerahnya? Akhirnya cerita ini, yang hanya terdapat di Babad B. P. (jil. VIII, hlm. 65-68), "Pada perajalanan kembali tentara Mataram, Tumenggung Jaya Suponta melaksanakan perintah rahasia Raja, yaitu membubarkan tentara Mataram pada rangkah (rintangan), yang terletak dekat Jurang Parahu atau Palwa. Para adipati akan mengikutinya dengan barang rampasan Jaya Suponta akan menjaga rangkah dekat Gunung Parahu, yang tidak boleh dilewati oleh siapa pun. Semua bupati tercengang dan memprotes keras, antara lain Martalaya, Adipati Purbaya, dan terutama Mandurreja, yang pura-pura ingin menembus rangkah tersebut. Setelah diberi tahu tentang keputusan Mandurareja oleh seorang bernama Ngabei Singawedana, Jaya Suponta akhirnya meninggalkan rangkah, sehingga orang-orang Mataram dapat melewatinya tanpa gangguan". Sebagai candra sengkala terus katiga kang djanma, diberikan angka yang tidak lengkap (Babad B. P. jil. VIII, hlm. 66), yaitu I.39. kita dapat melengkapinya menjadi tahun Jawa 1539 (1617 Masehi). Cerita yang aneh ini menimbulkan beberapa kesulitan, mungkin karena teks ini tidak secara murni dituturkan. Tidak jelas di mana letak Jurang atau Gunung Parahu (atau Palwa) di jalan yang panjang antara Pasuruan dan Mataram. Pulau Jawa mempunyai banyak gunung yang bernama Prahu. Mungkin maksud Raja menjauhkan Mandurareja dari pusat pemerintahan, karena Raja tidak mempercayainya. Dugaan ini mungkin dapat dibenarkan. Untuk itu didirikan sebuah rangkah di antara gunung-gunung. Perlawanan para pembesar terhadap ini sangat kuat; dan pemimpin yang baru, Jaya Suponta, harus mengalah bahwa barang-barang rampokan yang ada pada para prajurit harus dirampas guna perbendaharaan Raja. Sementara itu, cerita tersebut juga berharga karena untuk pertama kali disebut rangkah atau gerbang-gerbang bea cukai yang sering kali disebut dalam sumber-sumber Belanda. Salah satu Bandar sebagai sumber bea cukai yaitu Pasuruan. Berdasarkan cerita ini dapat diduga bahwa pembuatan rangkah-rangkah tersebut dimulai antara 1614 dan 1618, sehingga tahun 1617 dalam hubungan ini sangat cocok. Ketika naik takhta pada 1613, cucu Senopati Mataram Hadiningrat melanjutkan siasat politik ngelar jajahan trahnya. Menurut catatan keraton baik itu di Jogjakarta maupun Surakarta menegaskan bahwa pada saat itulah memerintahkan salah satu penghulu istana Mataram yang diberi gelar Raden Tumenggung Darmoyudho memimpin penyerangan ke wilayah Pasuruhan dan Blambangan. Pada 1616 atau 1617 Pasuruan dapat diduduki oleh pasukan Sultan Agung. Waktu itu Batavia belum didirikan, 1619. Yang mempertahankan Pasuruan ialah seorang Kanjeng Tumenggung dari Kapulungan. Bersamaan dengan itu diangkatlah Adipati Pasuruan pertama dibawah Mataram yaitu Darmoyudho I.
Post a Comment