Abad XVI (dasawarsa pertama) : Pate Supetak adalah Raja di Gamda (Pasuruan)
(1545) Pasuruan ditaklukan oleh Sultan Trenggono dari Demak. Sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Setelah kematian Sultan Trenggana 1546 di Demak rupanya Pasuruan semakin menjadi daerah yang setengah merdeka. Pada tahun-tahun berikutnya terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan.
(1613-1646) Masa Sultan Agung memerintah di Mataram merupakan puncak politik ekspansi yang telah dirintis penguasa sebelumnya. (Pasuruan merupakan salah tau daerah yang dikuasai oleh Mataram)
(1646-1677) Amangkurat I menggantikan Sultan Agung
(1617-1645) Pasuruan dikuasai oleh Tumenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kapoeloengan yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho I
(1645-1657) Raja di Pasuruan adalah putra Kiai Gedee Dermoyudho I yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho II
(1657) Mas Pekik memerintah dengan gelar Kiai Dermoyudho (III) hingga meninggal dunia pada tahun 1671
(1671-1686) Kiai Onggojoyo (putra Mas Pekik)
(1686-1706) Untung Suropati menjadi raja di Pasuruan dengan gelar Raden Adipati Wironegoro
(1706-1707)) Sepeninggal Untung Suropati kendali kerajaan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rakhmad yang meneruskan perjuangan sampai ke timur dan akhirnya gugur di medan pertempuran (1707).
(1743) Setelah beberapa kali berganti pimpinan pada tahun 1743 Pasuruan dikuasai oleh Raden Ario Wironegoro. Pada saat Raden Ario Wironegoro menjadi Adipati di Pasuruan, yang menjadi patihnya adalah Kiai Ngabai Wongsonegoro. Suatu ketika Belanda berhasil membujuk Patih Kiai Ngabai Wongsonegoro untuk menggulingkan pemerintahan Raden Ario Wironegoro. Raden Ario dapat meloloskan diri dan melarikan diri ke Malang. Sejak saat itu seluruh kekuasaan di Pasuruan dipegang oleh Belanda. Belanda menganggap Pasuruan sebagai kota bandar yang cukup penting sehingga menjadikannya sebagai ibukota karesidenan dengan wilayah:Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Bangil.
Kiai Ngabai Wongsonegoro diangkat menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Nitinegoro. Kiai Ngabai Wongsonegoro juga diberi hadiah seorang putri dari selir Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel, Surabaya. Pada saat dihadiahkan, Raden Ayu Berie dalam keadaan hamil, dia kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Raden Groedo.
(1751-1799) Raden Groedo yang masih berusia 11 tahun menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Kiai Adipati Nitiadiningrat (Berdasarkan Resolusi tanggal27 Juli 1751).Adipati Nitiadiningrat menjadi Bupati di Pasuruan selama 48 tahun (hingga 8 November 1799). Adipati Nitiadiningrat (I) dikenal sebagai Bupati yang cakap, teguh pendirian, setia kepada rakyatnya, namun pandai mengambil hati Pemerintah Belanda. Karya besarnya antara lain mendirikan Masjid Agung Al Anwar bersama-sama Kiai Hasan Sanusi (Mbah Slagah).
(1800-1809)) Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan ayahnya sesuai Besluit tanggal 28 Februari 1800 dengan gelar Toemenggoeng Nitiadiningrat II
(1809-1833) Toemenggoeng Nitiadiningrat II digantikan oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo dengan gelar Raden Adipati Nitiadiningrat III. Raden Adipati Nitiadiningrat III meninggal pada tanggal 30 Januari 1833 dan dimakamkan di belakang Masjid Al Anwar
(1833-1887) Raden Amoen Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar Raden Tumenggung Ario Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887. Kiai Nitiadiningrat I sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat Pasuruan dengan sebutan Mbah Surga-Surgi.
Perkembangan lebih lanjut dari tata pemerintahan khususnya di Pasuruan terjadinya pembentukan Kabupaten Pasuruan 1 Januari 1901 berdasarkan Staatblad 1900 No. 334 yang berawal dari Residen Pasoeroean dengan batas wilayah meliputi utara berbatasan dengan Madura, selatan berbatasan dengan Laut Hindia, barat berbatasan dengan Residen Kediri dan Surabaya, timur berbatasan dengan Besuki. Malang dan Probolinggo masuk wilayah Pasuruan.
Pada waktu yang lebih kemudian terjadi pembentukan Kotamadia Pasuruan tanggal 1 Juli 1918 berdasarkan Staatblad 1918 No. 320 dengan nama Kotapraja (Gemeente) Pasoeroean
14 Agustus 1950 dinyatakan Kotamadya Pasuruan sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa dalam 1 kecamatan.
21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa.
12 Januari2002 terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002, dengan demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan
Walikota Pasuruan
Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.
Nama-nama Walikota:
1949-1950 Astamoen
1950-1950 Wijono
1950-1955 Badroes Sapari
1955-1958 Soetimboel K
1958-1961 R.I. Abdurachim
1961-1965 Achadoen
1965-1967 RM. Soekiswo
1967-1969 Soejono
1969-1975 A. Hudan Dardiri
1975-1985 Drs. Harjono
1985-1990 Drs. Suhartono
1990-1995 Drs. H. Irwan Masrur
1995-2000 H. Ambjah, SH. M.Si
2000-2005 H. Aminurokhman, SE. MM
2005-2010 H. Aminurokhman, SE. MM
Sumber: (berbagai sumber)
(1545) Pasuruan ditaklukan oleh Sultan Trenggono dari Demak. Sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Setelah kematian Sultan Trenggana 1546 di Demak rupanya Pasuruan semakin menjadi daerah yang setengah merdeka. Pada tahun-tahun berikutnya terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan.
(1613-1646) Masa Sultan Agung memerintah di Mataram merupakan puncak politik ekspansi yang telah dirintis penguasa sebelumnya. (Pasuruan merupakan salah tau daerah yang dikuasai oleh Mataram)
(1646-1677) Amangkurat I menggantikan Sultan Agung
(1617-1645) Pasuruan dikuasai oleh Tumenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kapoeloengan yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho I
(1645-1657) Raja di Pasuruan adalah putra Kiai Gedee Dermoyudho I yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho II
(1657) Mas Pekik memerintah dengan gelar Kiai Dermoyudho (III) hingga meninggal dunia pada tahun 1671
(1671-1686) Kiai Onggojoyo (putra Mas Pekik)
(1686-1706) Untung Suropati menjadi raja di Pasuruan dengan gelar Raden Adipati Wironegoro
(1706-1707)) Sepeninggal Untung Suropati kendali kerajaan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rakhmad yang meneruskan perjuangan sampai ke timur dan akhirnya gugur di medan pertempuran (1707).
(1743) Setelah beberapa kali berganti pimpinan pada tahun 1743 Pasuruan dikuasai oleh Raden Ario Wironegoro. Pada saat Raden Ario Wironegoro menjadi Adipati di Pasuruan, yang menjadi patihnya adalah Kiai Ngabai Wongsonegoro. Suatu ketika Belanda berhasil membujuk Patih Kiai Ngabai Wongsonegoro untuk menggulingkan pemerintahan Raden Ario Wironegoro. Raden Ario dapat meloloskan diri dan melarikan diri ke Malang. Sejak saat itu seluruh kekuasaan di Pasuruan dipegang oleh Belanda. Belanda menganggap Pasuruan sebagai kota bandar yang cukup penting sehingga menjadikannya sebagai ibukota karesidenan dengan wilayah:Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Bangil.
Kiai Ngabai Wongsonegoro diangkat menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Nitinegoro. Kiai Ngabai Wongsonegoro juga diberi hadiah seorang putri dari selir Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel, Surabaya. Pada saat dihadiahkan, Raden Ayu Berie dalam keadaan hamil, dia kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Raden Groedo.
(1751-1799) Raden Groedo yang masih berusia 11 tahun menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Kiai Adipati Nitiadiningrat (Berdasarkan Resolusi tanggal27 Juli 1751).Adipati Nitiadiningrat menjadi Bupati di Pasuruan selama 48 tahun (hingga 8 November 1799). Adipati Nitiadiningrat (I) dikenal sebagai Bupati yang cakap, teguh pendirian, setia kepada rakyatnya, namun pandai mengambil hati Pemerintah Belanda. Karya besarnya antara lain mendirikan Masjid Agung Al Anwar bersama-sama Kiai Hasan Sanusi (Mbah Slagah).
(1800-1809)) Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan ayahnya sesuai Besluit tanggal 28 Februari 1800 dengan gelar Toemenggoeng Nitiadiningrat II
(1809-1833) Toemenggoeng Nitiadiningrat II digantikan oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo dengan gelar Raden Adipati Nitiadiningrat III. Raden Adipati Nitiadiningrat III meninggal pada tanggal 30 Januari 1833 dan dimakamkan di belakang Masjid Al Anwar
(1833-1887) Raden Amoen Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar Raden Tumenggung Ario Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887. Kiai Nitiadiningrat I sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat Pasuruan dengan sebutan Mbah Surga-Surgi.
Perkembangan lebih lanjut dari tata pemerintahan khususnya di Pasuruan terjadinya pembentukan Kabupaten Pasuruan 1 Januari 1901 berdasarkan Staatblad 1900 No. 334 yang berawal dari Residen Pasoeroean dengan batas wilayah meliputi utara berbatasan dengan Madura, selatan berbatasan dengan Laut Hindia, barat berbatasan dengan Residen Kediri dan Surabaya, timur berbatasan dengan Besuki. Malang dan Probolinggo masuk wilayah Pasuruan.
Pada waktu yang lebih kemudian terjadi pembentukan Kotamadia Pasuruan tanggal 1 Juli 1918 berdasarkan Staatblad 1918 No. 320 dengan nama Kotapraja (Gemeente) Pasoeroean
14 Agustus 1950 dinyatakan Kotamadya Pasuruan sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa dalam 1 kecamatan.
21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa.
12 Januari2002 terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002, dengan demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan
Walikota Pasuruan
Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.
Nama-nama Walikota:
1949-1950 Astamoen
1950-1950 Wijono
1950-1955 Badroes Sapari
1955-1958 Soetimboel K
1958-1961 R.I. Abdurachim
1961-1965 Achadoen
1965-1967 RM. Soekiswo
1967-1969 Soejono
1969-1975 A. Hudan Dardiri
1975-1985 Drs. Harjono
1985-1990 Drs. Suhartono
1990-1995 Drs. H. Irwan Masrur
1995-2000 H. Ambjah, SH. M.Si
2000-2005 H. Aminurokhman, SE. MM
2005-2010 H. Aminurokhman, SE. MM
Sumber: (berbagai sumber)
Post a Comment